Friday, September 11, 2015

AGEN JUDI POKER - Bercinta Dengan Tetangga

AGEN JUDI POKER

Bercinta Dengan Tetangga
AGEN JUDI POKER - Bercinta Dengan Tetangga
AGEN JUDI POKER - Bercinta Dengan Tetangga 
 Tante Ida, suaminya perwira di satuan **** (edited) dan kami bertetangga. Kamar tidurku pas di sebelah dapur mereka (kami tinggal di komplek, di rumah dinas karena ayah saya itu pegawai sipil AD). Jadi hal yang biasa, bangunan tadinya terpisah di satu kompleks lama-lama dibangun dan tergabung. Dinding pemisah di depan kamarku itu pakai batu karawang dan ditutup dengan lembar seng. Di depan dapur Tante Ida itu mereka buat tempat cuci baju sebenarnya. Tapi si tante suka mandi di situ. Nah, aku sudah lepaskan ujung seng pemisah, jadi bisa mengintip. Buah dadanya besar. Pernah sekali kuintip terus, dia tahu dan cuma bilang, “Ayo kamu ngapain?” katanya. Hari Sabtu aku suka main ke rumahnya, anaknya masih kecil-kecil. Aku suka ke sana karena banyak majalah dan koran dari kantor si oom. Dan si oom lagi tugas belajar 1 tahun untuk naik pangkat ke Bandung. Di situ ada ibunya Tante Ida tinggal di situ juga, dia sudah janda; anaknya Tante Ida 2 orang, waktu itu umurnya 2 3 tahunan. Ia menikah setamat SMA waktu itu.

Kira-kira jam 09.00 malam aku masih asyik bongkar majalah-majalah tua dan si tante memanggil dari kamar. “To, tolong dong Tante agak pegel, pijetin ya!” Biasa kami memang suka saling tolong, kadang ibu saya minta dikerokin sama Tante Ida atau Tante Ida minta dibuatkan kue, begitu deh tetangga yang baik. Aku sih tidak curiga walaupun sering aku intip. Lagi pula anak-anaknya masih pada bangun nonton video di kamarnya. Biasa film kartun. Aku rada enggan karena masih asyik baca, sebenarnya. Pintu kamar tidak ditutup, si oma masih di dapur sedang beberes, jadi tidak ada suasana yang mendukung untuk ngeres-ngeres. Aku masuk ke kamar masih sambil menenteng majalah, aku pikir sambil mijati (paling punggungnya, aku pikir) aku mau baca. Soalnya si Oma itu pelit, majalahnya tidak boleh dibawa pulang.

Waktu di kamar aku lihat Tante Ida pakai daster batik (itu lho yang murahan di Pasar Senen, 5 ribu ya satunya). “To, ini leher Tante kok kencang dan badan rasanya pegel linu, mau flu kali ya,” katanya. Kemudian dia duduk menghadap TV di kamar di ranjang besar (ukurannya king, kalau tidak salah) dan katanya, “Pakai itu saja To, krim Viva.” Aku ambil dan duduk di belakangnya, karena dia di tengah aku jadinya duduk juga ke tengah ranjang dan Tante ada di antara kakiku, majalah aku buka di samping kanan, aku separuh hati mau pijat karena sedang baca artikel menarik. Bisa dibayangi ya suasananya, masih ribet, ada anak-anak, ada ibunya, suara TV kencang. Pokoknya aku sih tidak ada intensi apa-apa.

Tante Ida membuka daster resleting belakangnya, dan aku tuang lotion ke telapak dan mulai memijat lehernya, sambil baca majalah. Terasa lehernya memang hangat lebih dari normal. Aku pijat pelan-pelan dan si tante mendesah keenakan (aku memang pintar mijat kayaknya). Sudah agak lama si tante bilang, “Tolong ke punggung bawah dong? dan sletingnya turuni lagi saja biar gampang.” Aku tarik sleting dan dasternya tersibak jauh ke kanan dan kiri. Aku agak surprised karena tidak ada tali BH (mestinya waktu mijat leherku sudah tahu ya karena di atas bahu tidak ada tali, dasar tidak niat jadi tidak konsen).

Aku tuang lagi lotion dan kusaputkan di punggungnya, “Uhh dingin,” kata Tante Ida sambil membungkuk ke depan lebih jauh. Aku pijati bahunya dan dasternya agak merosot dan dari kaca meja hias di sebelah pojok kanan TV aku melihat bukit susunya mulai tersembul separuh lebih dan pikiranku tiba-tiba agak mendesir, mulai deh ngeres. Majalah sudah tidak aku lihat lagi, penis terasa mulai keras dan aku sengaja memijatnya agak kugoyang-goyang bahunya dengan harapan dasternya merosot lagi. Eh, karena agak pas, tidak mau turun lagi. Wah bagaimana nih, aku agak maju duduknya tapi belum merapatkan barisan ke badan Tante Ida. Aku lanjutkan memijat ke arah lengan atas dan sengaja kudorong dasternya lagi dan kali ini berhasil, debar jantungku tambah kencang dan mulutku mulai kering. Dasternya turun lagi dan pinggir pentil buah dadanya sudah kelihatan. Tapi waktu kudorong lagi malah tidak mau turun, aku kecewa dan si tante juga diam saja. Ya sudah aku nikmati seadanya di kaca itu. Lalu aku pijat terus ke arah punggung dan aku ada ide, aku ulur tanganku memijat dengan keempat jariku mendekati meraba pangkal buah dadanya, lama aku memijat dan aku berusaha semakin ke depan keempat jariku (bisa dibayangi tidak). Ya, lumayan aku dapat juga tepi-tepi buah dadanya. Si tante diam saja sambil nonton TV, aku juga tidak berani melanjutkan macam-macam (takut ditampar pula).

Aku pijat makin turun ke pinggang dan dasternya susah menghalangi, jadi aku pijat dari luar (padahal kalau sekarang aku pasti berani ngomong, “Tante ini dasternya dibuka saja ya..” dasar masih tolol waktu itu). Dari pinggang aku terus ke pantatnya dan ketika itu penisku sudah keras kencang. Tiba-tiba si tante bergeser, pegal barangkali duduk diam terus, dan agak mundur, aku tidak sempat menghindar dan pantatnya kena penisku. Aku pakai celana pendek training dari kain kaos waktu itu. Dia kaget dan di kaca aku lihat dia agak mesem tapi masih diam. Aku juga terpana dan merasa salah. Tapi ya aku juga tidak geser menghindari, jadi aku biarkan saja. Terus si tante ambil selimut besar dan menutupi kakinya dan pahanya. Kemudian dia menyender agak ke belakang dan bisiknya, “Pijetin paha Tante dong!” Nah aku mau tidak mau karena dari belakang jadinya mesti merapatkan badan. Aku ulurkan tangan ke depan ke paha atasnya, agak bingung dan ketika aku lihat di kaca dia senyum, sambil merem matanya, buah dadanya masih kelihatan sisi atasnya dan pungungnya terasa hangat di dadaku dan mukaku dekat lehernya yang jenjang. Aku tak sengaja bernafas di lehernya dan telinganya dan dia menggelinjang geli. Ya, aku juga jadi berani dan kuulurkan tangan ke depan memijat paha atas dari bawah selimut. Eh, si daster rupanya sudah disingkap ke atas dan aku terpegang paha Tante Ida tanpa daster lagi.

Lututku sudah lemas dan nafasku sudah tidak teratur mendesah di lehernya yang jenjang. Aku pijat pelan-pelan dan tiba-tiba aku merasa tangan Tante Ida menjamah ke belakang dan menyentuh penisku. Aku seperti kena lisrik dan sempat agak menjerit, eh si tante bilang, “Ssst.. diam. Apa sih ini keras bener?” tanyanya sambil nanar menatap aku di kaca. Dan tangannya meraba makin ke tengah penis dan tiba-tiba dia membuka kancing celana (kalian tahu kan celana kain kaos itu, kancing “cepret”-nya cuma dua dan aku memang tidak pakai celana dalam lagi). Dan Tante Ida menggenggam batang penisku. “To, raba terus pahaku di atasnya, aku juga masukkan tanganku, astaga! tidak ada celana dalamnya.” Dan aku teruskan jari-jariku (sudah jadi berani dan otakku sudah kacau tidak peduli ada anak-anak di lantai bawah di depan kami itu, dan suara si oma di dapur masih klontang klonteng orang berberes). Lebih kaget lagi aku tidak menemukan rambut apa-apa di pangkal paha atas Tante Ida itu. Padahal waktu aku intip tempo hari seingatku lebat sekali tuh.

Kuraba-raba terus dan di kaca kelihatan Tante Ida mukanya seperti orang bingung keenakan (padahal aku belum masukkan ke lubangnya, masih bego aku, karena ini pengalaman pertamaku, eh aku waktu itu masih di SMP kelas 3). Tante Ida agak mengangkangkan pahanya dan aku terus mengusap-usap dan menangkupkan telapakku di bukit gundul itu, tidak tahu mesti apa (uih guoblook tenan kalau kata Basuki). Hangatnya bukan main, sementara tangan si tante masih mengurut-urut lembut batang penisku, aku duduk agak maju lagi. Auhh, enaknya bukan main deh dipegang sama wanita itu. Badan Tante Ida harum juga karena lotion dan ada semerbak jasmine. Kulit Tante Ida itu hitam manis. Akhirnya dia menyender total dan tanganya di penis dan buah zakarku, ujung penisku sudah kuyup sama seminal fluid yang keluar. Aku sudah kepingin benar menangkupkan tangan di buah dadanya tapi susah karena pasti bisa kelihatan anak-anaknya. Tiba-tiba aku ingin kencing dan agak sakit rasanya, aku bingung dan akhirnya aku bilang tante bahwa aku ingin kencing. “Ohh.. ya sudah kamu ke kamar mandi Tante situ!” Aku bangun dan ke kamar mandi dan sambil menyesel-nyesel takut nanti si tante berubah pikiran. Aku kencing dan.. astaga! itu kepala penis sudah benar-benar basah, kalau tidak karena kehalang kencing sudah orgasme mungkin tadi itu. Setelah kencing aku bersihkan si kepala jamur yang sudah merah tua sekali warnanya.

Waktu aku balik, si tante sudah kemulan sama selimut sambil duduk, aku duduk lagi di pinggir ranjang dan Tante Ida bilang, “Ayo To, pijetin lagi, kamu duduk lonjorkan kakimu!” Wah aku jadi semangat lagi, penisku sudah agak layu setengah ereksi. Kancing “cepret” celana pendekku aku tidak kancing lagi. Begitu duduk aku rapatkan lagi barisan (he he..he seperti baris berbaris saja). Aku kaget karena ternyata dasternya tidak ada, pantas Tante Ida kemulan selimut. Dan dia tidak duduk tapi berlutut bersimpuh agak nungging ke depan. Dia membisikkan, “To, biar Tante duduk di atas pangkuanmu.” Aku melonjorkan kaki rapat dan si tante mengangkang lalu duduk berlutut pantatnya persis di atas penisku, aku benar-benar setengah masih merasa apa ini mimpi basah saja. “Kamu pengen pegang susu Tante kan, ayo kamu raba.” Dan di dalam selimut itu aku bebas, tanganku merajalela. Duh enaknya memerah susu kenyal, dan putingnya terasa kasar di telapak tanganku, seketika mengeras dan si tante begitu aku meremas gemetar dan bibirnya terlihat di kaca digigitnya. Aku meremas-remas seperti tukang roti mengaduk adonan roti. Tangan Tante Ida juga tidak diam, dia menggenggam penisku dan digosok-gosokkan di bibir vaginanya. Aku merasa luar biasa hangat itu bukitnya. Dan tanganku kedua-duanya aktif sekali. Jariku memilin pulir-pulir dan melintir putingnya, besarnya ada sebesar jari kelingking (anaknya doyan ASI kali ya). Ukuran buah dadanya berapa ya, ada 38C barangkali.

Tiba-tiba dia duduk di pangkuanku dan, “Bless..” masuk kepala jamurku, aku terkejut karena tidak menyangka akan begitu, aku pikir cuma mau dimasturbasi saja. Benar tidak siap mental aku kehilangan perjakaku dengan keadaan seperti ini, aku selalu membayangkan sebelumnya lain. Aku bayangkan dengan teman sebaya. Dan luar biasa namanya otot vagina itu bisa ya seperti nyedot begitu dan seperti dijepit dengan apa ya.. susah jelaskan. Kami beraksi tanpa bicara banyak, dan sambil takut si ibunya datang atau anak-anak itu kan bisa tiba-tiba lari ke ibunya. Dan Tante Ida turun pelan-pelan, aku merasa agak sakit waktu turun itu, kulit kepalaku ikut tertarik terus (aku tidak dikhitan). Dan akhirnya Tante Ida sudah duduk rapat di atas pangkuanku. Dan ia mulai berputar-putar hanya pinggangnya saja, dan nanar mataku menikmati itu. Jadi penisku di dalam terus, Tante Ida tidak maju-mundur, ia cuma berputar searah jarum jam atau ke depan belakang, aku terus meremas-remas adonan daging dadanya. Dasar aku masih belum bisa, baru kira kira 4 – 5 menit aku sudah merasa gelombang orgasmeku mulai meluap dan aku tidak bisa ngomong cuma remasan di buah dada Tante Ida. Tanpa sadar aku jadi meremas kencang sekali. Tante Ida tahu dan dipercepatnya dan perahan ototnya tambah kencang, ia juga rupanya (aku tahu belakangan) mau mencapai orgasmenya.

Ia duduk di penisku masuk dalam sekali dan terasa bibir vaginanya di buah zakarku, ia memutar hebat dan aku orgasme terhebat dalam sejarah hidupku sampai waktu itu. Supaya tidak menjerit aku tekan mulutku di punggung Tante Ida. Dia juga rupanya sampai dan terengah-engah. Tiba-tiba si Ita anaknya yang besar melihat ke kami dan katanya, “Mama kenapa?” Kami seketika membeku diam dan untung si Ika nonton terus karena pas film kartunnya lagi asyik. Pelan-pelan Tante Ida mencabut sambil mengencangkan cengkraman ototnya, rupanya supaya spermaku jangan tumpah kemana-mana. Dan dia bangun sambil membawa selimutnya terus ke kamar mandi. Aku cepat bersila dan kututup dengan majalah. Wah baru aku nutupi dan Tante Ida masuk kamar mandi, Bu Etty si oma masuk kamar dan bilang,
“Eh, anak-anak ayo tidur sudah hampir jam 10.00 malam nih. Eh ada nak Toto juga, mana Ida?”
“Oh.. itu..” gelagapku, “Lagi ke kamar mandi.”
Untung si oma tidak curiga dia kira aku ikut nonton barangkali ya.
“Ayo Oma mau bobo!”
Pas film kartunnya habis dan mereka bilang,
“Selamat malam Kak..”
Begitu mereka pergi aku ikutan masuk kamar mandi, dan si tante masih jongkok sedang mencuci vaginanya. Aku dekap dari belakang dan si tante berdiri dan kegelian karena penisku mentul-mentul menyentuh bukit pantatnya. Aku belum lihat benar bagaimana badan si tante dan aku agak mundur.

Seketika penisku tegang lagi karena yang kulihat sekarang nyata bukan dari tempat mengintip. Dan tangan si tante memegang lagi batang penisku sambil menyiramnya untuk mencuci yang tadi. Aku gemetar karena pengalaman seperti ini luar biasa untuk anak seumurku. Buah dada Tante Ida menantang dan tegar, kelihatan pori-porinya meremang karena udara agak dingin di kamar mandi. Dan itu bukit vaginanya gundul sekali dan agak merekah merah terbuka bekas tadi. Aku tak tahu mesti apa selain meraba buah dadanya lagi kali ini dari depan. Tante Ida menarik aku dan mencium bibirku, aku menurut saja dan badan kami merapat. Tangannya terus mengurut-urut batang penisku. Dan aku meraba pantatnya yang sintal kencang. Buah zakarku pun diremas-remasnya pelan-pelan. Kemudian Tante Ida menaikkan kakinya sebelah ke atas bak dan dimasukkannya lagi penisku. Lincir sekali dan panas terasa di batangku. Kali ini Tante Ida bergoyang maju-mundur dan pantatku juga ditekannya mengikuti irama. Aku ikut saja menggoyangkan sambil memeluk, mengisap putingnya, mencium bibirnya.

Beberapa saat kami bergoyang sama-sama, tapi pahanya Tante Ida pegal rupanya dan dicopotnya penisku, kemudian ia berbalik dan nungging pegangan ke bak mandi. “To dari belakang To,” dan tangannya diulurnya dari tengah selangkangannya, ditariknya penisku dan pelan-pelan digosoknya ke bibir vaginanya. Aduh panas banget deh itu bibir, terus aku desak maju dan “Bless..” kepala jamurku masuk bergesek-gesek lincir dengan dinding lubangnya. Tante Ida juga bereaksi dan pinggulnya berputar seperti penari perut itu. Aduh luar biasa deh, aku nanar dan tidak bisa mikir lagi. Pantatku maju-mundur penisku menggaruk-garuk lubang. Dari posisi ini aku bisa lihat jelas batang penisku basah kuyup dan bibir vagina Tante Ida ketarik keluar-masuk. Tanganku mengulur ke depan meremas buah dadanya yang menggantung besar dan bergoyang menggeletar, nafas Tante Ida mendengus desah. Akhirnya aku meledak-ledak lagi dan Tante Ida terbantar dia rupanya sudah duluan orgasme. Setelah itu kami mandi di pancuran sama-sama dan saling meraba-raba berpelukan dan aku puas sekali memerah susunya. Buah dadanya juga buat aku bagus sekali, aku puas sekali meremas-remas itu. Luar biasa wanita ini.

Kemudian kami lanjutkan lagi di ranjang. Dan aku cuma bisa rebah di bawah dan Tante Ida yang naik di atas. Pantatku diganjal dengan bantal dan terasa penisku lebih terulur, si tante meremas penisku yang lemas dan pelan-pelan diciumnya kepala penis dan akhirnya dimasukkan ke mulut dan aku melenguh-lenguh geli dan agak linu karena sudah dua kali main. Tak lama penisku tegang lagi dan tante naik menunggangiku sekali lagi menghadapi aku. Buah dadanya bergayut bebas dan liar, aku meremas-remas sambil menikmati kenyotan vaginanya yang kencang sekali. Tante Ida ini benar-benar kuda betina binal sekali. Diputarnya pinggulnya dan terasa sekali dinding otot daging vaginanya meremas-remas batang penisku. Pelan-pelan orgasmeku mulai bergelombang akan keluar tiba-tiba, dicabutnya vaginannya, aku menjerit, “Aduhh Tante terusinn dongg..” Dia tertawa dan diputarnya badannya dan dipegangnya penisku yang sudah panas sekali. Sekarang tante membelakangiku, dibimbingnya penisku masuk, ia turun dan “Bless..” aku bisa melihat bibir vaginanya merekah dibelah penisku. Dan ia mulai lagi bergoyang seperti penari jaipong, luar biasa tak tergambarkan, enak.

Tak lama aku meledak, dan si tante mengandaskan penisku semua masuk dan ia masih membuat gerakan memutar dengan pinggulnya dan kakinya lurus, ditekannya habis dan tante pun meledak-ledak melenguh keras, “To.. enak sekali To..” Benar-benar wanita luar biasa. Dia bilang dia suka sekali hubungan kelamin. Tapi suaminya sering tugas ke luar kota dan seperti sekarang ini setahun penuh belajar di **** (edited). Malam itu jam 24.00 lebih baru aku dilepas sama Tante Ida. Aku masih berkali-kali lagi sama dia selama suaminya sekolah itu. Dan ketika aku kemudian sama Ita anaknya, Adeline keponakan Tante Ida juga aku sempat enjoy sama-sama waktu Tante Ida ke luar kota sama suaminya.

Aku masih berkali-kali lagi sama dia selama suaminya sekolah itu. Dan ketika aku besar kemudian Ita anaknya juga pernah ngelmu sama aku (gantian setelah aku ngelmu sama seniornya). Adeline keponakan Tante Ida juga aku sempat enjoy. Ada lagi Mbak Icih pembantu di rumahnya yang molek juga. Pengalaman-pengalaman di situ sangat berkesan dan mendidik aku tentang hal sex.

Besoknya tengah hari, aku ke rumahnya lagi karena pagi-pagi tadi aku terbangun sudah tegang sekali terbawa ke impian segala pengalaman pertama itu. Aku mengharapkan bisa main lagi karena biasanya anak-anaknya suka dibawa jalan-jalan sama ibunya Tante Ida kalau hari Minggu. Rupanya sudah pada pergi karena sepi sekali, wah asyik aku pikir dan nafasku terasa sudah terengah-engah membayangkan apa yang akan aku alami. Kok sepi sekali, tidak kedengaran suara, ah mungkin si tante tidur, aku pikir. Aku pelan-pelan ke kamarnya, tidak ada. Kemana ya? Di kamar mandi aku lihat juga tidak ada. Aku ke paviliun kamar Bu Etty ibunya Tante Ida mungkin lagi beres-beres di situ, pikirku. Tanpa mengetuk aku masuk dan dari balik pintu aku lihat ada bayangannya sedang membungkuk membelakangi di dekat ranjang, segera aku masuk dan kupeluk dari belakang sambil meremas-remas buah dadanya. “Aiihh..” jeritnya. Astaga! rupanya Bu Etty, bukan Tante Ida sedang setengah telanjang baru mandi.

Aku ternganga dan tidak bisa bicara dan Bu Etty lemas karena kaget terduduk di ranjangnya. “Duhh nak Toto kenapa ngagetin Ibu..” dan dia terduduk di ranjangnya, handuk yang sekedar menutup tubuhnya tidak cukup panjang sehingga bagian atas handuk turun ke perutnya buah dadanya menggandul lepas bebas. Aku tambah menganga melihat itu dan penisku di dalam celana pendekku tidak tahu diri, dia masih tegak saja seperti tiang bendera tujuh belasan. Kami terdiam dan Bu Etty tak berusaha menutup buah dadanya yang masih sintal. Memang ibu dan anak ini dikaruniai tubuh yang amat seksi. Bu Etty umurnya kurasa sudah berumur tapi badannya amat terpelihara, ya seperti itu loh ibu-ibu yang rajin minum jamu-jamuan. Buah dadanya sama seperti Tante Ida biar agak sedikit turun, dan dia lebih tinggi dari Tante Ida, jadi anggun sekali.

“Mau ngapain nyari Tante Ida?” tanyanya tanpa sungkan.
Aku tergagap-gagap.
“Eh.. oh itu mm nyari majalah..”
“Lho kok meluk-meluk dan meremes-remes tetek orang,” sergahnya.
Aku tambah pucat dan tidak sadar atau terpikir bahwa Bu Etty kok tidak berusaha menutupi payudaranya itu yang kontal-kantil di depanku.
“Itu anu.. anu.. aku.. sa.. sa.. saya tidak sengaja..” gagapku.
“Mana bisa tidak sengaja orang kamu sudah ngeremes-remes, sakit tahu..” bentaknya lagi, “Sini kamu!” sergahnya.
“Tanganmu lancang sekali ya, coba sini mana tanganmu! aku mesti laporin sama ayah kamu.”
Aku sudah tambah hijau biru pucat pasi dan keringat dinginku deras mengalir di punggungku. Penisku yang tadi sudah tegang jadi mengkerut kecil sekecil-kecilnya lembek di dalam celanaku seperti kura-kura kena gertak kepalanya, masuk deh ke dalam batoknya. Malah ingin ngompol rasanya.

Kuulurkan tangan yang gemetar dingin dan dipegang oleh Bu Etty.
“Ya sudah,” katanya.
“Ini ayo remas-remas lagi, kan kamu pengen,” sambil menaruh kedua telapak tanganku di atas buah dadanya.
Aku tambah takut dan bingung, tidak percaya, dan kutarik tanganku kembali begitu menyentuh buah dadanya seperti kena panci panas. Bu Etty malah jadi tertawa kecil. “Nak To, jangan cemas tidak ngegigit kok buah dadaku,” derainya sambil tersenyum sekarang. “Aku kemarin malem lihat kok kamu jam berapa pulang dari sini, dan ya aku ngerti kok si Ida itu sama saja memang nafsunya besar sekali. Seperti aku juga,” ujarnya. “Ibu juga seminggu mesti sedikitnya 4 kali main,” katanya tanpa malu-malu. Aku hanya bisa mengangguk-angguk tidak tahu mesti menjawab apa. Tahu dong kalian kalau habis begitu kan perut masih mual enek, terkaget-kaget, duh untung aku tidak ngompol di depan dia deh. Mana dia ngomongnya blak-blakan begitu seperti bukan orang Indonesia saja. Aku merasa pening sakit kepala.

“Duh nak Toto kaget ya,” sambil berdiri ia menarik aku dan dipeluknya kepalaku ke buah dadanya. Baru aku agak tenang, dan tiba-tiba terasa tangan Bu Etty turun ke pinggangku dan “Sret..” sekali tarik celana kaosku sudah ditariknya separuh turun. “Hi.. hi.. hi.. lihat nak, mengkerut kecil tuh si buyung. Kasian deh kamu, sini Ibu hiburin dia,” sambil ditariknya kepala penisku yang tidur, ia membungkuk dan seketika handuknya terlepas total jatuh di kakinya dan bebaslah tubuhnya yang jangkung itu dari segala hambatan. Beda dengan Tante Ida, Bu Etty kulitnya kuning, turunan Sunda sih. Tante Ida mungkin dapat kulitnya hitam begitu dari bapaknya yang turunan Ambon barangkali.

Ia berjongkok di depanku, ditaruhnya penisku di tapak tangannya dan disaputkan ciumannya di penisku sepanjang batangnya, disaputkan dengan halus batangnya, disaputkan dengan halus, ketika si “Joni” dikasih angin begitu langsung mulai memanjang deh. Tangannya meremas-remas lembut sekali di buah zakarku dan aku juga masih shock karena belum pernah tahu ada soal cium mencium alat vital. Dengan jelas kemarin sama Tante Ida cuma dia kenyot sebentar saja, duh bodoh benar deh kalau ingat itu.
Didorongnya aku ke tempat tidurnya dan mulutnya sekarang mulai merekah dan lidahnya terasa kasap keluar menjilat-jilat batang penisku. Tak terkira nikmatnya dan aku cuma bisa mengeluh lenguh, “Aahh.. ahh..” Kubaringkan badan di tempat tidur Bu Etty dan si ibu pelan-pelan sambil terus menghisap kepala penisku. Bu Etty kemudian berputar dan akhirnya vaginanya di atas mulutku. Terbelalak aku melihat rimba lebat dan mulai merekah lubangnya yang merah seperti kerang mentah itu. Aku cuma mencium bau nafsu yang keluar dari situ dan kelihatan mulai basah lubangnya. Tiba-tiba Bu Etty menurunkan pinggangnya dan seketika vaginanya hanya tinggal 1 cm dari mulutku. Aku angkat kepalaku dan mencium sedikit bibir vaginanya. “Ahh..” lenguh Bu Etty. “Terus terus To..” wah langsung kusergap dan kukenyot kencang-kencang dan lidahku beputar-putar menjilat-jilat lubang dan tepian bibir vaginanya. Tidak mengerti sih mesti diapain.

Dan Bu Etty melepas penisku dan ia duduk di atas bibirku sambil menggosokkan berputar di atas mulutku, wah aku hampir tidak bisa bernafas. Paha atasnya terasa mengepit kepalaku dan terasa cairan dari lubangnya tambah banyak. “Ayo To, lidahnya jilatkan ke atas ke bawah sepanjang bibir vagina Ibu,” jelasnya. Wah tambah deh ilmuku. Kelak ilmuku ini ternyata digemari sekali oleh wanita-wanita yang pernah kutiduri, ya ini dapatnya waktu sama Bu Etty ini. Eh, ngomong-ngomong hati-hati ya kalau oral karena salah satu sumber penyebaran AIDS juga dari cara ini (hayo mau kamu kondomin gimana tuh).

Tiba-tiba kurasa tekanan pinggangnya tambah kencang kandas memepetkan vaginanya ke bibirku dan ia menjerit-jerit kecil, “Ahh.. ahh.. enakk.. hebat kamu To.. Ibu enakk sekalii..” rupanya ia orgasme dengan hebat sekali. “Hah.. hah.. hahh.. uhh..” ia terengah-engah dan bibir vaginanya menempel dan ia terbadai terduduk. Vaginanya masih menempel di mulutku dengan rapatnya. Kutelan cairan-cairan yang mengalir menetes dari dalam liangya. Dan kudorong sedikit pantatnya itu sambil lidahku menjilat di sekitar sisi luar bibir vaginanya terus ke arah pantatnya, aku jilat-jilat pelan. Terasa kasarnya lidahku membuat ia bergelinjang geli. “Ahh.. ahh.. Toto kamu kok.. pin.. ter.. sekalii..” Dan penisku sudah tegang keras bukan main yang tadi tersia-sia, disergapnya lagi dan dimasukkannya lagi ke dalam mulutnya dan disedotnya dengan kuat. Lidahnya melilit-lilit di sekitar kepala penis mengikuti lekak lekuk dan nikmatnya tak terbayangkan, sulit kuceritakan di sini. Aku mengejangkan kakiku dan pantatku sampai terangkat-angkat dari kasur sehingga penisku tambah panjang terisap-isap Bu Etty. Bu Etty mengambil bantal dan disedakkannya di bawah pantatku sehingga terasa sekali penisku seperti terdorong ke atas tambah panjang.

Bu Etty terus mengenyot dan kepalanya ikut maju-mundur sambil kedua tangannya meraba-raba zakarku. Sekali-kali dirabanya sekitar antara pantatku dan zakar. Kukunya yang panjang menggaruk-garuk halus dan gelinya bukan main, menambah nafsuku. Sampai merinding semua kulitku. Aku terengah-engah sudah tak sadar bagaimana tingkah kelakuanku. Bu Etty masih tetap nungging di atas kepalaku dan pemandangan vaginanya menambah nikmat. Kutarik lagi pantatnya dan kulumat-lumat dengan mulutku lagi. “Auhh aihh..” terdengar suara Bu Etty terhalang penisku dan seketika kulitnya meremang merinding karena geli dan nafsu.

Aku tiba-tiba merasa spermaku mulai bergelombang mau keluar, kulepas ciuman di vagina Bu Etty dan aku berderau parau, “Ahh.. Buu.. terus.. terus..” Tapi tiba-tiba Bu Etty melepaskan mulutnya dan dicekiknya batang penisku sampai sakit sekali dengan kukunya, “Aauu.. aduhh aduhh..” jeritku kesakitan. Aku terkejut sekali dan kecewa karena gelombang nikmatnya jadi hilang lenyap, terasa aku frustasi dan mau meledak marah rasanya. Bu Etty sambil bangkit duduk di sisiku sambil tertawa dan katanya, “Sudah ya nak Toto.. pakai bajunya gih..” Mulutku selebar Goa Gajah ternganga bingung. Sadis amat ini orang, kok begini Bu Etty, pikirku. Maksudnya apa?

Mataku merah dan rasanya berkunang-kunang, pusing rasanya kepalaku dan aku tidak tahu mesti ngapain. Nafsuku masih menggebu-gebu, nafasku terasa menderu. Akhirnya aku gelap mata dan kutubruk Bu Etty sampai terjatuh di atas ranjang dan kubuka pahanya dengan paksa. Terasa ia mencoba menutup pahanya melawan dan kucegah dengan kedua pahaku. Tangannya kutekan ke kiri dan kanan di atas keranjang dan ia meronta-ronta. Kutabrakkan penisku ke lubangnya, waduh susahnya, karena ia menggelinjang-gelinjang. Mulutku mengecup dan mengisap putingnya. Aduh gimana nih aku sudah nafsu sekali tapi penisku tidak masuk-masuk. Tiba-tiba kucoba gigit sedikit putingnya dan “Kres..” kucengkeramkan gigiku. “Auu..” jeritnya dan pinggangnya terdiam, langsung aku manfaatkan dan kepala penisku kudesakkan masuk ke lubangnya yang basah. Dan aku genjot kandas batang penisku sedalam-dalamnya biar Bu Etty tidak berontak-berontak lagi, takut lepas.

Ia masih mencoba meronta-ronta dan nikmatnya hentakan ronta-rontaan itu ke vaginanya di batangku. Kupaku dengan penisku dan aku tindih dengan badan juga, buah dadanya yang sintal lepas tertekan dadaku dan tanganku masih mencengkeram kedua tangan Bu Etty. Setelah dia agak diam, aku goyang hanya berputar-putar tanpa mencabut batangku lagi kencang-kencang, habis takut dia berontak lagi. Terasa buah zakarku gondal gandul bergesek-gesek menghantam menekan sisi bibir vaginanya yang tebal dan bulunya menggesek-gesek buah zakarku, geli sekali dan meledak-ledak spermaku dalam 2 menit di situ. Aku lupa diri, luar biasa nikmatnya karena tadi tidak jadi keluar waktu di “karaoke” sama Bu Etty dan badan kami kejang-kejang. Tiba-tiba Bu Etty membalik dan ia sudah di atas dan ia menggoyang-goyang pinggulnya dengan putaran kuat. Mataku terbeliak-beliak nikmat. Buah dadanya bergoyang-goyang liar dan kutangkap dengan kedua tanganku dan kuperah. Bu Etty juga mendesah-desah keras, akhirnya orgasme lagi, akhirnya terhempas ia ke atas tubuhku yang penuh keringat.

“Nak Toto enak ya,” katanya sambil tersenyum.
“Tadi kusengaja itu karena dengan gitu nikmatnya lebih tinggi lagi.”
“Duh Ibu pintar sekali sih, belajar dimana sih?
“Lho kan Ibu turunan orang Sunda juga nak Toto, kalau itu memang bakat alam soal ginian, makanya pada pinter kalau jaipong.”
“Oh itu tadi gerak jaipong ya Bu..”
“Iya dong..” katanya sambil mencubit pelan di buah zakarku yang sudah mengkerut keriput.

Penisku masih setengah berdiri dan kepalanya merah tua basah (with an apology to our Sundanese reader or is it a compliment? No offence meant ladies buddy, that was my best experience ever.. viva Sundanese). Kami lalu mandi bebersih bersama-sama saling menyabuni. Kemudian ya jadinya main juga sekali di kamar mandi sambil berdiri. Aku bereksperimen diajarkan sama si ibu, memasukkan penisku dari belakang. Bu Etty membungkuk dan goyang jaipongnya hanya di kepala penisku tanpa memasukkan seluruh batang. Beda kemarin sama Tante Ida, kami pakai gaya klasik maju-mundur penisku biar sambil Tante Ida nungging juga.

Kemudian aku diajarkan menjilati klitorisnya tanpa menyentuh bibir vaginanya, kakinya yang satu ditumpangkannya di tepi bak mandi sehingga terkuak bebas vaginanya di depan mukaku. Kulilitkan ujung lidahku di kepala klitorisnya dan ia menggelinjang, buah dadanya terpontal pantil menahan geli. Tanganku segera meraba ke atas dan berusaha kuperas-peras kedua buah dada itu. Tapi karena aku di bawah hanya dapat sedikit. Akhirnya Bu Etty agak membungkuk dan buah dadanya bergantung bebas. Gemas sekali aku dan kami bermain-main di dalam kamar mandi sampai hampir 1 jam.

Rupanya hari itu Tante Ida sekalian mau belanja, jadi ia pergi sama anak-anaknya, makanya Bu Etty yang di rumah. Sambil istirahat kami membuat minuman hangat dari termos di kamarnya dan duduk di ranjang di kamar Bu Etty. Kami tetap telanjang bulat.
“Bu, jadi tahu ya tadi malam aku main sama Tante Ida.”
“Iya dong nak, kan Ibu sudah pengalaman dan lumrah kok seperti Ibu bilang tadi kami memang wanita yang nafsunya kuat sekali.”
“Lalu, kata ibu tadi seminggu sedikitnya 4 kali, sama siapa biasanya Bu?” tanyaku sambil membaringkan badan memegang memilin-milin puting susunya.
“Oh.. Ibu sama teman-teman bertiga, ada semacam klub kecil,” katanya sambil tertawa renyah sambil ekspresi mukanya menahan geli dari pilinan jariku.
“Biasa kami nyari anak SMA, mahasiswa atau anak-anak muda dan kami bawa ke villa teman Ibu atau ke hotel juga.”
“Ibu makanya awet muda ya, itu kami selalu nyari perjaka-perjaka untuk diperawanin,” cekikiknya manja.
Tangannya juga iseng meraba-raba pantatku dan dari bawah pahaku ke belakang dijamahnya lagi buah zakarku.
AGEN JUDI POKER - Bercinta Dengan Tetangga
AGEN JUDI POKER - Bercinta Dengan Tetangga 


“Ibu paling demen sama anak seumur kamu deh, nafsunya besar dan cepet sekali pulihnya, bentar-bentar sudah ngaceng lagi..” ujarnya.
Sambil terus meremas-remas buah zakarku dan batang penisku yang sudah mulai berdiri lagi. Didorongnya badanku sehingga aku rebah dan Bu Etty naik ke atas mengangkangkan pahanya dan ia berjongkok di atas penisku yang separuh tegang. “Diam ya nak To..” Pelan-pelan dipegangnya daging sosisku dan disaputkannya kepala penisku di tepi-tepi bibir vaginanya yang ada rambutnya. Aduh, nikmat sekali dan pelan diarahkannya ke lubang nikmat itu dan “Bless..” mulai masuk lagi, nikmat luar biasa walau penisku terasa agak perih digeber dua hari ini. Belum tegang penuh tapi vagina Bu Etty seperti bisa menarik masuk dan tekanan pinggulnya sedemikian rupa.

“Aku suka sekali di atas,” kata Bu Etty, “Karena bisa ngontrol gerakan dan garukan batang penis ke klitorisku,” katanya. “Sekarang diam, nak Toto rasakan merem deh.. merem..” Aku merem dan senut-senut terasa sekali dinding lubangnya berdenyut-denyut kencang. Bu Etty tidak ngapa-ngapain, hanya merem juga waktu kuintip. Aku merem lagi dan kuulurkan tanganku ke buah dadanya yang montok sekali itu. Duh.. seperti memegang melon. “Remes To.. remes!” keluhnya manja sekali dan penuh nafsu. Suaranya berdesah-desah, “Ahh.. ahh.. enakk.. putingnya To.. putingnya ibu atuh.. uhh..” Pinggulnya mulai berputar pelan-pelan sekali gaya penari jaipong dan kadang sambil jongkok ia menaik-turunkan pinggulnya. Hebatnya sedotan dari dalam vaginanya itu lho. Aku rasa kalau vacuum cleaner-nya rusak bisa tuh dipakai menyedot debu.

Buat aku ya enaknya buah dadanya tersaji di depan mataku dan tinggal ulurkan tangan saja. Aku meremas-remas buah melon yang kenyal itu.
“Bu, aku diajak ke tempat teman-teman Ibu dong..” ujarku tiba-tiba.
“Ha ha.. ha.. entar kamu apa kuat ngelayani kami-kami To?”
“Coba deh Bu..” bisikku sambil terus meremas buah dadanya.
“Gini deh, lain kali aku ajak kamu tapi aku tidak bilangin mereka kamu sudah pernah main ya.. biar lebih seru.. Kemarin sama nak Ida gimana enak?”
“Enak juga Bu, tapi kayaknya Ibu Etty lebih jago ya..” pujiku sambil mataku terbelalak-belalak karena genjotan pinggul Bu Etty tambah seru saja.

Keringatnya menetes-netes ke dadaku dan bau harum badannya tambah kuat karena hawa panas badannya. Harum sekali si ibu ini, pikirku sambil menikmati hentakan pinggulnya yang tambah cepat. Dan tiba-tiba Bu Etty kandas dan vaginanya merapat lagi dengan buah zakarku. Sekarang ia berputar-putar tanpa naik-turun. Terasa ujung penisku di dalam itu seperti diperas dengan kuat sekali dan.. “Srot.. srot..” aku meledak ledak tak terkendali lagi. Letih betul rasanya dan kami tertidur setelah itu.

Sorenya menjelang magrib aku terbangun dan Bu Etty masih telanjang bulat. Aku pelan-pelan bangun mau beranjak pulang mencari celanaku, tiba-tiba aku melihat ada orang di pintu mengintip dan ia tidak melihat aku di dekat kamar mandi. Rupanya Adelin keponakan Tante Ida yang kuliah di kota ini berkunjung. Aku kaget dan tidak tahu mesti apa. Wah kalau ketahuan tidak enak. Adelin cantik sekali anaknya dan seperti tantenya Ida dan Bu Etty, tubuhnya juga seksi sekali. Ah, untung dia melihat Bu Etty tidur dan dia pergi lagi. Sekarang bagaimana aku keluar nih. Pintu paviliun Bu Etty tidak pernah dibuka dan ada lemari di depannya. Ya sudah aku pakai baju kaos dan celanaku dulu deh. Pelan-pelan aku buka pintu kamar dan kuintip, wah si Adeline lagi sama Mbak Icih di dapur, aku mengendap-endap ke kamar tamu dan pura-pura duduk baca majalah.

“Lho ada kamu To,” ujar Adeline waktu masuk lagi dari dapur.
“Kamu ngapain? Aku nggak lihat kamu masuknya.”
“Aku mau baca majalah nih..” sahutku sekenanya.
“Ok, aku mau pergi dulu ya,” katanya sambil keluar.
“Tante Ida belum pulang ya?”
Adelin berputar dan ala mak pinggulnya seksi banget deh dan aku karena sudah ngeres melulu 2 hari ini langsung merasa desiran di penisku. Adeline pergi dan aku sendirian di ruang tamu menjelang petang dan aku jadi naik ke otak lagi.

Aku bangkit dan ngintip ke kamar Bu Etty. Wah masih tidur nyenyak habis di servis enak sih. Tiba-tiba ia bergulir miring membelakangi pintu dan aku, selimutnya tersingkap, wah pantatnya terlihat dan dari belakang bulu-bulu serta kemaluannya jadi kelihatan sudah deh si “Ujang” langsung bangun dan aku jadi bingung. Mestinya Tante Ida sebentar lagi pulang dan kalau aku main lagi takut ketahuan deh. Bu Etty bergeser lagi dan telungkup, kakinya terbuka dan aku bisa lihat jelas vaginanya. Lututku lemas dan nafasku menderu. Aku tidak kuat lagi, biarin ketahuan-ketahuan deh. Aku masuk dan kukunci pintu perlahan. Kubuka celana pendekku dan aku dekati pelan-pelan dari belakang. Kuendus-endus dulu sekitar vaginanya, wah ternyata masih basah, dan karena Bu Etty mengangkang sambil terlungkup aku bisa lihat jelas dalam cahaya senja yang masuk pas di garis pantatnya yang sintal dan besar itu. Aku berlutut dan pelan-pelan kudekatkan penisku. Pelan kuletakkan di mulut bibir vaginanya dan aku diam. Hmm, tidak bereaksi, kudorong pelan sekali mendesak bibir tebal itu. Masuk sedikit lagi, duh enaknya karena terasa hangat. Aku diam lagi menikmati dan kugerakkan sedikit halus sekali. Tiba-tiba Bu Etty bergerak lagi menggeser pantatnya dan “Bles..” malah masuk lagi, sekarang kepala penisku.. eh masih tidak bangun juga. Dengan halus sekali aku dorong lagi sedikit sekali, terasa berdenyut-denyut dinding vaginanya dan seperti “nggremet-grement”.

Duhh.. enak banget. Aku maju lagi. Tanganku bertelekan di ranjang tanpa kena tubuh Bu Etty, sudah rada pegel sih, tapi nafsuku sudah menderu-deru dan aku sudah tidak peduli apa-apa lagi habis enak sekali. Maju lagi sudah 3/4 batang masuk dan terasa ada aliran cairan ikut dari dalam. Tiba-tiba pintu terbuka dan Mbak Icih masuk dengan setumpuk pakaian baru disetrika. Dia tidak tahu rupanya karena kamarnya gelap bahwa ada orang di dalam. Aku panik dan sudah tidak bisa narik diri lagi. Mbak Icih menyalakan lampu dan dia terpana melihat kami. Dia lihat Bu Etty tidur, ya aku hanya bisa pucat dan diam karena kalau dicabut pasti bangun Bu Etty. Akhirnya aku hanya bisa meletakkan jariku di bibir bilang supaya Mbak Icih diam. Penisku langsung lemas dan Mbak Icih langsung keluar, untung dia tidak menjerit. Aku jadi hilang nafsu dan kutarik pelan-pelan batang yang sudah lembek itu dan aku cepetan pakai celana lagi.

Keluar dari kamar kulihat Mbak Icih terdiam di dekat dapur. Aku mau mendekat ke sana, tiba-tiba pintu depan terbuka dan Tante Ida pulang. Dalam hati aku bersyukur juga, kan tidak enak kalau pas lagi “ngegenjot” tadi. Rupanya waktu kukunci tidak benar masuknya karena pintunya belum tutup betul. Dasar kalau sudah nafsu begitu sudah tidak jalan otak dan rasa.

Aku panik dan Tante Ida melihat aku, hampir saja tidak terdengar.
“To cari majalah lagi?” tanyanya.
“Apa, apa.. Tante? Oh ya..”
“Kamu kenapa To, mana Ibu?” katanya sambil masuk ke dalam dan pantatnya disenggolkannya ke pantatku.
“Oh itu Ibu Etty tidur sore..” ujarku.
Aku masih bingung bagaimana dengan Mbak Icih. Tante Ida langsung ke dapur dan kudengar ia meminta Mbak Icih memanaskan makanan-makanan yang dibawanya. Hmm aman sedikit, kupikir dia sibuk.
“To, mau makan di sini?” tanya Tante Ida.
“Tidak deh.. aku disuruh jaga rumah kok Tante (he he..he jaga rumah malah setengah hari di rumah tetangga). Ayah dan ibu semua pada pergi ke Bogor pulangnya besok pagi-pagi.”
“Wah kamu sendiri ya,” kata Tante Ida sambil mengedipkan mata.
“I.. iya.. ya.. (wah tadi aku kunci rumah tidak ya)” jawabku sekenanya.
“Ya sudah, kamu mau pulang?”
“Iya iya..”
Aku masih bingung, sudah tidak tahu mesti apa tentang Mbak Icih.
“Nanti Tante ke sana deh lihat kamu,” katanya lagi sambil tersenyum berarti.
Aku lantaran bingung hanya bilang iya tanpa ekspresi.
“Kamu baik-baik saja To?” tanyanya lagi.
“Iya Tante.. pulang dulu ya.. itu majalah saya sudah rapikan lagi.”
Dan aku pulang sambil berdebar-debar apa yang akan terjadi nanti.

Pulang aku mandi, berusaha menenangkan diri. Dalam hati aku menyesel kenapa mengikuti nafsu saja, jadi kacau semua akhirnya, pikirku. Tapi ya sudah kupikir semua sudah terjadi, bagaimana nanti deh. Aku belum makan tapi sudah tidak kepinginan. Selesai mandi aku bereskan buku untuk besok, berusaha mengalihkan pikiran.

“Tok tok tok..” ada yang mengetuk pintu samping. Kemudian aku ke situ, Tante Ida pikirku. Waktu itu aku tidak jadi senang mikir sebenarnya karena aku sendirian bisa main lagi sama Tante Ida di rumahku. Kubuka pintu, ternyata Mbak Icih membawa nampan dan katanya, “Mas To, ini dari Tante Ida, beliau ada tamu luar kota mesti ditemenin ke stasiun jemput saudara, katanya gitu dan ini disuruh makan dan Mbak disuruh nemenin Mas To sampai selesai makan. Bu Etty dan anak-anak juga ikut semua.” Aku bengong dan kupandang Mbak Icih biasa-biasa saja. Aku ambil nampan dan kukatakan,
“Tidak usah ditemenin deh Mbak, aku bisa.”
“Ah jangan Mas To entar saya dimarahin, lagian di rumah tidak ada orang, saya rada takut sendirian.”
“Lho sudah dikunci belum rumahnya,” tanyaku.
“Sudah Mas.”
“Iya sudah masuk deh Mbak!”

Aku makan dan Mbak Icih duduk di dingklik nonton TV, biasa sinetron “blo’on” Indonesia. Tiba-tiba Mbak Icih cekikan pelan, aku lihat di TV pas ada iklan, Srimulat rupanya. Aku masih mikir soal ketangkap tadi. Akhirnya aku ngomong to the point.
“Mbak Icih jangan cerita siapa-siapa ya soal tadi di kamar Bu Etty.”
“Oh itu tidak apa-apa kok Mas To, di rumah situ mah bebas saja. Hanya saya ya kaget saja karena tadi saya kira tidak ada orang.”
“Maksud Mbak gimana, bingung aku.”
“Oh gini loh Mas To. Kalau laki perempuan kan lumrah suka gituan.”
Aku jadi tambah bengong saja, ini orang ngomong apa sih.
“Mbak Icih kan sudah pernah kawin..” lanjutnya sambil senyum-senyum.
Dan di dingklik itu ia duduk sambil cerita sedikit sembarangan, sehingga sarungnya tersingkap di tengah. Aku menangkap pemandangan itu kelihatan betisnya, eh.. ini orang mulus juga. Biasanya orang dari desa suka kurang terawat, aku sekarang jadi melihat secara sadar, wah ini orang boleh juga.

Aku tidak jelas umurnya berapa, tapi orangnya rapi dan feminin. Buah dadanya kulihat naik-turun di balik kaos lusuh pemberian majikannya, barangkali kira-kira separuh Bu Etty dan Tante Ida deh. Si “Ujang” di balik celanaku terasa mulai bergerak-gerak lagi. Waktu itu sudah jam 07.00-an rasanya. Selesai makan aku sikat gigi di kamar mandi dan kudengar Mbak Icih beres-beres dan cuci piring. Keluar dari situ, kulihat Mbak Icih masih nyuci dan kupandang dari belakang. Mak.. pantatnya molek di balik ketatnya sarungnya itu tampak jelas. Aku berdiri di sampingnya dan kami saling memandang dan seperti ada kontak hati saja. Suasananya terasa seperti ada listriknya antara kami, dan aku ulurkan tanganku meraba pantatnya dan naik ke pinggangnya. Kupeluk dari belakang dan kumasukkan tanganku ke depan di bawah kaosnya, terasa BH-nya yang kasar menutup buah dadanya. Aku remas-remas dari luar BH-nya, dan terasa pantat Mbak Icih mundur merapat ke penisku bergeser-geser. Kucium kuduknya dan ia menggelinjang.

“Entar dulu Mas To, piringnya pecah entar,” ujarnya perlahan.
“Taruh saja dulu,” jawabku.

Aku tarik BH-nya ke atas dan mulai kuraba dengan telapak tanganku, kedua puting susunya yang segera saja mengeras sensitif sekali. Mbak Icih lemas dan bersandar ke aku dan ke tempat cuci piring. Penisku sudah tegang keras dan menusuk dari dalam celanaku ke pantatnya. Kuturunkan tanganku dan kulepaskan sarungnya dan jatuhlah sarungnya ke kakinya tinggal celana dalamnya dari kain bekas terigu itu. Tangan kananku masuk dan telapak tanganku menangkup di atas vaginanya, tangan kiriku masih meremas-remas buah dadanya. Celana dalamnya longgar dan kudorong ke bawah sampai ke lututnya dan kutarik dengan jari kakiku sampai turun ke pergelangan kakinya. Tangan Mbak Icih juga diulur ke belakang dan mencengkeram batang yang membara sambil ia mendesah kegelian. Kulihat lengan atasnya merinding-rinding, keenakan rupanya dia. Aku turunkan celanaku dan kemudian kuangkat pahanya sebelah dan kubisikkan, “Mbak taruh di atas pinggir bak itu..”

Jadi sekarang vaginanya pas terbuka di depan penisku yang sudah mengacung ke atas.
“Ini cara apa Mas To,” keluhnya, “Masukin dong Mas masukin!” Aku hanya maju-mundur mengarukkan penisku di sekitar pantatnya dan lubang vaginanya. Tanganku masih aktif meremas-remas terus buah dadanya. Mbak Icih berusaha menggapai batangku tapi aku menghindar dan Mbak Icih tambah kencang desahnya karena jariku sekarang memilin-milin bibir vaginanya dari depan sambil berusaha mencari klitoris yang tadi diajari Bu Etty. “Mass.. Mass.. Ayo dong.. masukin..!” keluhnya. Aku tarik BH-nya ke atas dan mulai kuraba dengan telapak tanganku kedua puting susunya yang segera saja mengeras sensitif sekali. Mbak Icih lemas dan bersandar ke aku dan ke tempat cuci piring. Penisku sudah tegang dengan keras dan menusuk dari dalam celanaku ke pantatnya. Kuturunkan tanganku dan kulepaskan sarungnya dan jatuhlah sarungnya ke kakinya tinggal celana dalamnya dari kain bekas terigu itu. Tangan kananku masuk dan telapak tanganku menangkup di atas vaginanya tangan kiriku masih meremas-remas buah dadanya. Celana dalamnya longgar dan kudorong ke bawah sampai ke lututnya dan kutarik dengan jari kakiku sampai turun ke pergelangan kakinya. Tangan Mbak Icih juga diulur ke belakang dan mencengkeram batang yang membara sambil ia mendesah kegelian, kulihat lengan atasnya merinding-rinding, keenakan rupanya dia. Aku turunkan celana dalamku dan kemudian kuangkat pahanya sebelah dan kubisikkan, “Mbak taruh di atas pinggir bak itu.” Jadi sekarang vaginanya pas terbuka di depan penisku yang sudah ngacung ke atas.

“Ini cara apa Mas To,” keluhnya, “Masukin dong Mas, masukin!” Aku hanya maju-mundur menggarukkan penisku di sekitar pantatnya dan nyundul-nyundul lubang vaginanya. Tanganku masih aktif meremas-remas terus buah dadanya. Mbak Icih berusaha menggapai batangku tapi aku menghindar dan Mbak Icih tambah kencang desahnya karena jariku sekarang memilin-milin bibir vaginanya di depan sambil berusaha mencari klitoris yang tadi diajari Bu Etty. “Mass.. Mass.. Ayo dong.. masukin..” Keluhnya mendesah-desah basah suaranya, menambah seru dan panas. Aku lepas t-shirt-ku dan kaos Mbak Icih, BH hitamnya yang sudah tersingkap kurengut dan telanjang bulatlah kami.

Aku terus sengaja hanya menciumi dan menggigiti telinganya, dan tiap kali merinding bulu tengkuknya, kelihatan pori-pori lengannya meremang dan ia menggelinjang geli. Penisku tergosok-gosok celah di antara bukit pantatnya tiap ia menggelinjang. Kupeluk terus dari belakang dan pahanya masih tetap di atas bak yang sebelah. Penis kugaruk-garukkan ke tepian lubangnya dan banjir cairan kental dari lubangnya tambah banyak, berkilap-kilap mengalir di sepanjang paha yang satu. Ia mencoba lagi menggapai penisku tapi aku mundur dan tetap kupelintir klitorisnya dan kugosok-gosok lembar dalam bibir vaginanya dengan ujung kuku. Mbak Icih tambah panik dan keluhannya seperti orang yang sudah mau menangis kepingin sekali. “Ahh Mas To, ayo dong masukinn Mass.. Mbak tidak kuat lagii..” kepalanya digoyang-goyangnya ke kanan ke kiri (katanya, orang ekstasi juga gitu ya).

P.S: Aku memang lagi iseng ingin eksperimen setelah dicakar, dicekik kepala penisku sama Bu Etty pertama kali, pas aku mau muncrat itu.. memang loh bener lebih enak, gayanya kalau tidak langsung digebrusin muncrat, dan kalau high dengan narkoba gitu ya. Amit-amit, aku tidak pernah mencoba sekali juga (habis menurutku goblok tuh yang main narkoba dan obat batuk hitam, apa urusannya, ya aku yang ngetik).

“Iya..” Mbak Icih membisikkanku dekat sekali telinganya dan mengembus ke lubang, kugigit juga sedikit anak telinganya. Kumasukkan sedikit dari bawah penisku ke mulut lubang vaginanya dan kupegang batang panisku dan kuputar-putar di gerbang itu tanpa aku dorong masuk. Mbak Icih berusaha memasukkan lebih dalam tapi kutarik kalau dia agak turun. “Mass.. jangan disiksa dong.. tusukkin tusukkinn..” jeritnya agak keras. Aku kaget juga, gila ini Mbak. Nafsunya sudah tidak terkendali lagi. Ya sudah aku masukkan setengah dan kugoyang pinggulku dan ia juga segera naik-turun. Tangan kiriku meremas-remas buah dadanya dan sambil memulir-mulir puting susunya yang sudah keras seperti kerikil. Erangan Mbak Icih menambah erotisnya, dan busyet.. empotan vaginanya bukan main, beda sekali dengan Bu Etty atau Tante Ida, agak kering tapi tetap enak sekali. Kepala penisku terasa digenggam beludru dengan mapan sekali. Berkunang-kunang rasanya mataku, kugigit lagi sedikit pundaknya sambil kuciumi terus kuduknya. Tangan Mbak Icih menjulur ke belakang dan meremas-remas bukit pantatku, sementara tanganku satu lagi juga tidak menganggur memoles-moles, kupetik-petik biji klitorisnya yang tambah nongol keluar. Gila ada sebesar kacang Garuda yang belum dikupas. Terasa keluar dari lubang sisi atas vaginanya, keras-keras empuk. Mbak Icih tambah menggerung-gerung, “Ahh.. ahh.. Mas Mass..” dan tiba-tiba ia turunkan kakinya dari bak dan menarik pantatku dan masuklah amblas sedalam-dalamnya penisku. Pantatnya menempel rapat sekali. Terasa lincir karena keringat kami yang sambil berdiri mengalir. Bau badan Mbak Icih itu seperti bunga melati, sama dengan orang Cendana suka melati dia ini). Bersih, biar dia orang dari kampung tapi sepertinya mengerti kebersihan badan.

Kupeluk buah dadanya dalam tangkupan telapak tanganku dan ia membungkuk berpegangan ke bak dan pantatnya, pinggulnya berputar-putar, rasanya penisku diulek-ulek dan tiap kali ia berputar tambah cepat dan gelombang-gelombang sinyal kenikmatan mulai terbentuk seperti tsunami bergelora, “Aahk..” ia menjerit cukup kencang sampai aku sempat sekilas kaget berpikir, wah kalau kedengaran tetangga bisa gawat, tapi langsung hilang karena orgasmeku sudah menjelang. “Plok.. plek.. plekk..” bunyi tubuh kami beradu bercampur keringat dan cairan bau di sekitar situ sudah mesum sekali bau sex, edan. Meletuplah Mbak Icih dan erangan-erangannya terus menerus. Tiba-tiba cengkeraman vaginanya begitu kuat sampai aku menjerit karena agak sakit dan dikendorkannya sedikit. Aku pun tidak kuat lagi menahan, “Mbak Icihh..” kukandaskan dalam-dalam batang penisku dan zakarku rapat-rapat dengan bibir vaginanya, dan akhrinya kami saking lemasnya jatuh terduduk di depan bak cuci piring itu. Terengah-engah dan berpelukan telanjang bulat. Spermaku bertebaran di lantai dapur. “Mbak Mbak.. enak sekalii.. Mbak Icih hebat bangett..” Mukanya agak merengut dan aku sengaja tidak memberi tadi tubuhnya. “Mas To, aduh saya sudah beneran mau gila tadi rasanya.. untung masih inget kalau tidak saya sudah teriak kencang-kencang,” katanya sekarang sambil tertawa mengingat keadaan tadi.

“Tapi enak kan ya Mbak, capek tidak Mbak?”
“Nggak Mas To..” sergahnya dengan cepat.
“Sudah, entar tidur di sini saja deh Mbak Icih,” bujukku dengan penuh rencana.
“Entar saya kasih tahu Bu Etty atau Tante Ida kalau mereka pulang, aku bilang takut sendirian di sini.”
“Hi hi hi, mana mereka percaya Mas To.. mereka juga tahu lah..paling entar Bu Etty bilang biar dia yang temenin.. hi hi hi.. ” cekikan Mbak Icih menggodaku.
“Atau Mbak dan Bu Etty yang tidur di sini Mas To..”
Eh ini orang jahil pisan.
“Tapi pasti dikasih deh..” ujarnya lagi.
“Saya mandi dulu ya Mas To. Apa mau sama-sama mandi,” godanya lagi.
“Sudah deh Mas To, istirahat dulu kan sudah 2 hari ini capek,” lho kok dia tahu saja ya, padahal kemarin kan dia tidak lihat. Aku belum tahu dan tidak curiga lebih lanjut sampai beberapa waktu akhirnya aku mengerti, itu cerita lain lagi yang seru juga.

Aku manggut saja, memang remuk rasanya badanku terasa juga, dan dengan gontai aku masuk ke kamar dan aku juga mandi. Penisku kelihatan merah tua sekali kepalanya dan sekitar kulit di kepala penis kelihatan agak seperti lecet tapi aku tidak merasa sakit malah “baal”, kebanyakan kali ya. Hmm, kemarin pagi aku masih perjaka, luar biasa nasibku dalam 2 hari aku main dengan 3 cewek hebat-hebat. Sambil mandi aku melamun kenapa tidak dari dulu ya, tapi ya sudah memang jalannya gitu barangkali, batinku.

Setelah mandi aku baring-baring tetap telanjang, tidak ada siap siapa. Maksudnya menunggu Mbak Icih mandi dan Ibu Etty cs balik, kan aku mesti menelepon mereka. Eh, baru 3 menit aku ketiduran, bangun-bangun aku kaget sekali karena sudah tengah malam. Aku bangun dan kulihat Mbak Icih masih nonton TV, hanya pakai sarung dikembenin t-shirtnya entah kemana. Bahunya kuning bersih dan pinggang dan pinggulnya seksi sekali dilihat dari belakang.

“Mbak sudah makan?”
“Sudah Mas To, dan tadi Bu Etty ke sini, saya sudah kasih tahu juga, Mas To takut sendiri.”
“Apa kata Bu Etty?” tanyaku ingin tahu.
“Kata Ibu ya sudah temenin saja. Dan mereka katanya mau tidur juga capek.”
“Mas To mau makan lagi apa? Mbak gorengin nasi mau, mesti makan telor Mas, buat nambah tenaga,” katanya sambil senyum nakal.
Aku rasanya lesu dan lemas badanku.
“Tidak usah Mbak Icih, aku mau tidur lagi.. tapi Mbak Icih tidurnya ditempat saya ya.. kan ranjangnya besar sekali.”

“Ah malu Mas To..”
“Duh Mbak, apanya lagi yang malu, kan tidak ada siapa-siapa.”
“Iya deh Mas To, entar Mbak mau nonton dulu ini sinetron ya..”
Sialan sinetron jelek dia mau nonton, mana ada sih sinetron kita yang bagus, bukan sekalian bikin film biru munafik deh.

Besoknya pagi-pagi telepon membangunkan aku, “Kringg..”
“Ya hallo,” sambutku.
“Oh Toto ini Tante Ida, kamu lagi sibuk tidak? Bisa ke rumah Tante sekarang?”
Kontan saja mendengar suaranya si buyung mulai menggeliat. Dasar ngeres dan sudah ngerti.
“Tentu Tante, aku ke sana sekarang ya,” jawabku dengan gembira ria.

Setiba di rumahnya, Tante Ida sudah cantik berpakaian rapi mau pergi. Aku agak kecewa dan ia melihat itu.
“To, aku perlu pergi ke kantor Oom mau ngambil gaji. Dan sebentar lagi Ibu Etty pulang arisan dan dia lupa bawa kunci. Mbak Icih lagi nganter anak-anak ke pesta temen sekolah Ita. Kamu tidak keberatan kan jagain sebentar, paling seperempat jam lagi pulang kok Bu Etty,” ujarnya sambil memeluk pundakku.
Susunya nyengsol-nyengsol menyentuh lenganku. Uhh, sudah ingin remas saja deh, dan si buyung sudah separuh naik. Sialan hanya mau diminta menunggu rumah, batinku. Tadinya aku ingin tidur siang. Capai, habis krida hari ini.
Ya deh Tante Ida, tapi entar aku minta oleh-oleh ya,” kataku sambil meraba pantatnya dan seketika Tante Ida menggelinjang geli dan ia memeluk erat.
“Iya..” desahnya basah di daun telingaku.
“Aduh gelinyaa..”
Si “Ujang” langsung naik. Kumasukkan tanganku dari bawah blusnya dan kuremas-remas bagian bawah buah dadanya. Biar minta bonus sedikit, dan penisku kutempelkan di paha atas si tante biar dia tahu aku sudah siap. Tante Ida melenguh dan, “To, aku mesti pergi, entar telat, kasirnya tutup nih,” dan ditariknya tanganku lembut dan dengan terengah-engah ikut nafsu juga. “To, Tante usahakan pulang secepatnya deh, kamu sabar ya,” lenguhnya berusaha melepaskan remasanku.

Tapi sambil kepingin diteruskan juga sepertinya. Akhirnya lepas juga sambil terengah-engah dan parasnya merona merah Tante Ida keluar, jalannya agak terhuyung-huyung. Aku jamin celana dalamnya sudah basah lembab tuh. Tinggal aku sendirian. Ya sudah aku ambil majalah lagi dan aku baring-baring baca di kursi malas di kamar tamu. “Ahh..” aku meronta-ronta dan kok keras amat si buyung dan terasa disedot-sedot orang. Wah rupanya aku ketiduran dan mimpi, kupikir. Waktu kubuka mata aku terkejut melihat wajah tak kukenal, dan astaga aku sudah telanjang bulat. Tanganku terikat ke atas di kursi malas dan penisku sedang dilumat-lumat. Aku tak tahu siapa satu lagi wanita, aku hanya melihat kepalanya dan punggungnya telanjang. Kakiku, kakiku, walah terikat juga ke kiri dan kanan kursi malas. Aku masih setengah mengantuk dan bingung, sakit kepalaku rasanya terbangun tiba-tiba. Akhirnya aku sadar betul dan ketika kupalingkan muka ke kanan ada Bu Etty dan dan dia sudah bulat-bulat juga telanjang. “Bu.. saya diapakan ini,” kataku sambil nyengir keenakan. “Diam saja dah kamu,” kata Bu Etty tersenyum Ia bertolak pinggang dan duh buah dadanya menantang betul. Tapi tanganku tidak bisa mencapainya. Ini siapa Bu semuanya, saya mau diapakan sih?” Buah zakarku terasa geli sekali digaruk-garuk kuku wanita yang menyedoti penisku.

Aku menggelinjang geli, dan Bu Etty meraba puting susuku. “Ahh.. enakk..” dan tersiksa betul rasanya tanganku tidak bisa aktif, sudah ingin betul meremas susu Bu Etty yang gundal gandul di dekat bahuku. “Ini temen-temen Ibu, To. Bu Endah dan Bu Inggit. Kita tadi ngeliat kamu ketiduran dan ya seperti Ibu bilang ini temen-temen ibu itu lho,” katanya sambil menggeserkan buah dadanya di dadaku. Putingnya ditekannya ke putingku. Enak, empuk, hangat, dan seketika aku tambah bingung, lha tapi kenapa saya diikat. “Ya, kata Bu Etty kan kemarin itu kamu ngikat Mbak Icih. Ha ha.. ha.. nah kami tadi iseng pengen ngerjain kamu nih To.”

Hisapan Bu Endah terasa tambah menghebat, lidahnya berputar-putar di sekitar kepala penisku dan aku sudah tidak kuat lagi mau meledak. Dan kuangkat pantatku agar masuk lebih dalam. “Ehh..” Bu Endah malah berdiri dan melepaskan mulutnya. Wah tergantung aku. Dengan terengah-engah aku bilang, “Bu tolong dong Bu sedot lagii.. sudah mau muncrat nihh.. Buu..” Bu Endah, Bu Etty dan Bu Ingit tertawa ramai-ramai, dan aku belum sempat memperhatikan seksama buah dada mereka kontal kantil terguncang-guncang karena mereka tertawa melihat aku yang seperti cacing kepanasan. Mataku masih sepet dan berkunang-kunang dari ketiduran tadi. Bu Ingit kemudian mendekat dan mengangkang. Pantatnya mengarah ke mukaku dan ia mulai turun sambil memegang batang penisku, digosok-gosoknya ke mulut liang vaginanya dan aku mendesah lagi, karena enak sekali dan aku sudah siap meledakkan orgasmeku. Bu Endah menggosokkan buah dadanya ke mulutku yang langsung kontan saja aku sergap, dan putingnya kuhisap dan lidahku berputar-putar di kacang keras itu.

Bu Endah merem melek dan kulit buah dadanya yang bening kelihatan garis-garis hijau biru halus dan meremang pori-porinya. Bu Ingit masih hanya memasukkan separuh kepala penisku dan senut-senut kempotan bibir mulut vaginanya hangat dan enak sekali. Aku rasanya mau gila karena kenapa dia tidak memasukkan semuanya, aku berusaha menaikkan pantatku tapi Bu Ingit selalu menjaga jaraknya. Kurang ajar, dalam hatiku dan aku rasanya mau menjerit tapi mulutku disumpal buah dada kenyal. Kuku tajam jari Bu Etty terasa mulai menggaruk di sekitar duburku dan buah zakarku, menambah kebinalan di dalam otakku yang sudah tak bisa berpikir lagi. Aku hanya terengah-engah dalam siksaan ketiga ibu-ibu sexy sintal ini. Bisa dibayangkan, tidak semua mereka telanjang bulat (aku juga) dan aku tidak bisa semauku. Keningku terlihat kencang mengejang dan urat-urat dahiku keluar semua. Aku menggeram, “Ahh.. Ayo Buu.. aku pengen, tolong dong.. masukkin Bu..” Bu Endah menarik buah dadanya dan ia berlutut dan diturunkannya vaginanya ke mulutku, aku tak berdaya dan bau harum aku rasakan keluar dan hawa panas hangat dari vaginanya yang lembab.

Aku ulurkan keluar lidahku dan kujilat-jilat, Bu Endah melenguh, “Uuhh sedapnya,” dan pantatnya maju-mundur menggeruskan vaginanya di atas mulutku. Terus di gerus-geruskan bibir vaginanya ke mulutku dan terasa cairan-cairan dari dalam vaginanya meleleh masukk. Lidahku aktif menjilati lubangnya dan klitorisnya yang sebesar kacang ijo. Bu Etty sih sebesar kacang merah nongol. Bu Ingit sementara hanya berputar di atas kepala penisku. Telapak tangannya bertopang di atas pahaku dan sambil meraba-raba dengan halus. Gilaa.. pahaku digarisnya dengan kukunya yang panjang, “Alamakk.. gelii Bu..”

Bu Etty menungging dan merangkak ke dekat pantatku dan mulutnya mulai menjilat-jilat daerah yang digaruk-garuknya tadi, sekarang dijilatnya dengan lidahnya yang hangat, dan buah zakarku dikulum-kulum seperti lagi makan cupacup dan dijilatnya pelan-pelan seperti orang makan biji salak. Akhirnya aku tidak kuat lagi dan pantatku kunaikkan, kakiku mengejang. Bu Inggit terkejut dan cepat ia membenamkan penisku dalam-dalam dan diputir-putirnya pantatnya sampai kandas dan seketika letupan orgasmeku membanjir deras di dalam vagina Bu Inggit dan Bu Inggit sendiri menggarukkan klitorisnya di batangku dengan cepat dan pantatnya yang sintal berputar-putar, sebentar kemudian ia pun menahan jeritannya, “Ahh..” kemudian diangkatnya naik-turun, aku melihat bibir vaginanya keluar-masuk merekah belah oleh batang penisku yang basah mengkilap. Bulu kemaluannya basah kuyup dan bersatu. “Uukhh.. Ahh..”

Bu Inggit kemudian bangkit dan “Plop,” bunyi waktu penisku masih setengah tegang lepas dari genggaman erat vaginanya. Spermaku meleleh sepanjang pahanya yang putih. Bu Etty masih di bawah situ mengecup buah zakarku dan tertetes-tetes di pipinya beberapa gumpalan spermaku. Kami terengah-engah semua dan aku merasa nikmat yang luar biassa. Sepanjang beberapa jam itu aku gantian ditunggangi oleh Bu Endah kemudian terakhir Bu Etty, karena dia nyonya rumah jadi terakhir. Aku sendiri di servis demikian merasa sesuatu pengalaman yang lain dari yang lain. Belum pernah aku dimanjakan oleh 3 wanita sekaligus begitu. Malam itu aku ketiduran di antara ketiganya dalam keadaan telanjang bulat.
AGEN JUDI POKER - Bercinta Dengan Tetangga
AGEN JUDI POKER - Bercinta Dengan Tetangga 

Saturday, August 22, 2015

AGEN JUDI POKER - Nikmatnya Dengan Tante Ani

AGEN JUDI POKER

"Nikmatnya Dengan Tante Ani"

AGEN JUDI POKER - Nikmatnya Dengan Tante Ani
AGEN JUDI POKER - Nikmatnya Dengan Tante Ani
Nikmatnya Bercinta Dengan Tante Ani – Umurku sekarang sudah 30 tahun. Sampai sekarang aku masih hidup membujang, meskipun sebenarnya aku sudah sangat siap kalau mau menikah. Meskipun aku belum tergolong orang yang berpenghasilan wah, namun aku tergolong orang yang sudah cukup mapan, punya posisi menengah di tempat kerjaku sekarang. Aku sampai sekarang masih malas untuk menikah, dan memilih menikmati hidup sebagai petualang, dari satu wanita ke wanita yang lain. Kisahku sebagai petualang ini, dimulai dari sebuah kejadian kira-kira 12 tahun yang lalu.

Waktu itu aku masih kelas 3 SMU. Hari itu aku ada janji dengan Agus, sahabatku di sekolah. Rencananya dia mau mengajakku jalan-jalan ke Mall A?a,?EsXA?a,?a”? sekedar menghilangkan kepenatan setelah seminggu penuh digojlok latihan sepak bola habis-habisan. Sejam lebih aku menunggu di warung depan gang rumah pamanku (aku tinggal numpang di rumah paman, karena aku sekolah di kota yang jauh dari tempat tinggal orangtuaku yang di desa). Jalan ke Mall A?a,?EsXA?a,?a”? dari rumah Agus melewati tempat tinggal pamanku itu, jadi janjinya aku disuruh menunggu di warung pinggir jalan seperti biasa. Aku mulai gelisah, karena biasanya Agus selalu tepat janji. Akhirnya aku menuju ke telepon umum yang ada di dekat situ, pengin nelpon ke rumah Agus, memastikan dia sudah berangkat atau belum (waktu itu HP belum musim bro, paling juga pager yang sudah ada, tapi itupun kami tidak punya).

“Sialan.. telkom ini, barang rongsokan di pasang di sini!,” gerutuku karena telpon koin yang kumasukkan keluar terus dan keluar terus. Setelah uring-uringan sebentar, akhirnya kuputuskan untuk ke rumah Agus. Keputusan ini sebenarnya agak konyol, karena itu berarti aku berbalik arah dan menjauh dari Mall A?a,?EsXA?a,?a”? tujuan kami, belum lagi kemungkinan bersimpang jalan dengan Agus. Tapi, kegelisahanku mengalahkan pertimbangan itu. Akhirnya, setelah titip pesan pada penjual di warung kalau-kalau Agus datang, aku langsung menyetop angkot dan menuju ke rumah Agus.

Sesampai di rumah Agus, kulihat suasananya sepi. Padahal sore-sore begitu biasanya anggota keluarga Agus (Papa, Mama dan adik-adik Agus, serta kadang pembantunya) pada ngobrol di teras rumah atau main badminton di gang depan rumah. Setelah celingak-celinguk beberapa saat, kulihat pembantu di rumah Agus keluar dari pintu samping.

“Bi.. Bibi.. kok sepi.. pada kemana yah?” tanyaku. Aku terbilang sering main ke rumah Agus, begitu juga sebaliknya Agus sering main ke rumah pamanku, tempatku tinggal. Jadi aku sudah kenal baik dengan semua penghuni rumah Agus, termasuk pembantu dan sopir papanya.
“Eh, mas Didik.. pada pergi mas, pada ikut ndoro kakung (juragan laki-laki). Yang ada di rumah cuman ndoro putri (juragan wanita),” jawabnya dengan ramah.
“Oh.. jadi Agus ikut pergi juga ya Bi. Ya sudah kalau begitu, lain waktu saja saya ke sini lagi,” jawabku sambil mau pergi.

“Lho, nggak mampir dulu mas Didik. Mbok ya minum-minum dulu, biar capeknya hilang.”
“Makasih Bi, sudah sore ini,” jawabku.
Baru aku mau beranjak pulang, pintu depan tiba-tiba terbuka. Ternyata Tante Ani, mama Agus yang membuka pintu.
“Bibi ini gimana sih, ada tamu kok nggak disuruh masuk?”, katanya sambil sedikit mendelik pada si pembantu.
“Udah ndoro, sudah saya suruh duduk dulu, tapi mas Didik nggak mau,” jawabnya.
“Eh, nak Didik. Kenapa di luaran aja. Ayo masuk dulu,” kata Tante Ani lagi.
“Makasih tante. Lain waktu aja saya main lagi tante,” jawabku.
“Ah, kamu ini kayak sama orang lain saja. Ayo masuk sebentar lah, udah datang jauh-jauh kok ya balik lagi. Ayo masuk, biar dibikin minum sama bibi dulu,” kata Tante Ani lagi sambil melambai ke arahku.

Aku tidak bisa lagi menolak, takut membuat Tante Ani tersinggung. Kemudian aku melangkah masuk dan duduk di teras, sementara Tante Ani masih berdiri di depan pintu.

“Nak Didik, duduk di dalem saja. Tante lagi kurang enak badan, tante nanti nggak bisa nemenin kamu kalau duduk di luar.”
“Ya tante,” jawabku sambil masuk ke rumah dengan perasaan setengah sungkan.
“Agus ikut Om pergi kemana sih tante?” tanyaku basa-basi setelah duduk di sofa di ruang tamu.
“Pada ke *kota X*, ke rumah kakek. Mendadak sih tadi pagi. Soalnya om-mu itu kan jarang sekali libur. Sekali boleh cuti, langsung mau nengok kakek.”
“Ehm.. tante nggak ikut?”
“Besuk pagi rencananya tante nyusul. Soalnya hari ini tadi tante nggak bisa ninggalin kantor, masih ada yang mesti diselesaiin,” jawab Tante Ani. “Emangnya Agus nggak ngasih tahu kamu kalau dia pergi?”
“Nggak tante,” jawabku sambil sedikit terheran-heran. Tidak biasanya Tante Ani menyebutku dengan “kamu”. Biasanya dia menyebutku dengan “nak Didik”.
“Kok bengong!” Tanya Tante Ani membuatku kaget.
“Eh.. anu.. eh..,” aku tergugup-gugup.
“Ona-anu, ona-anu. Emang anunya siapa?” Tante Ani meledek kegugupanku yang membuatku makin jengah. Untung Bibi segera datang membawa secangkir teh hangat, sehingga rasa jengahku tidak berkepanjangan.

“Mas Didik, silakan tehnya dicicipin, keburu dingin nggak enak,” kata bibi sambil menghidangkan teh di depanku.
“Makasih Bi,” jawabku pelan.
“Itu tehnya diminum ya, tante mau mandi dulu.. bau,” kata Tante Ani sambil tersenyum. Setelah itu Tante Ani dan pembantunya masuk ke ruang tengah. Sementara aku mulai membaca-baca koran yang ada di meja untuk.

Hampir setengah jam aku sendirian membaca koran di ruang tamu, sampai akhirnya Tante Ani nampak keluar dari ruang tengah. Dia memakai T-shirt warna putih dipadu dengan celana ketat di bawah lutut. Harus kuakui, meskipun umurnya sudah 40-an namun badannya masih bagus. Kulitnya putih bersih, dan wajahnya meskipun sudah mulai ada kerut di sana-sini, tapi masih jelas menampakkan sisa-sisa kecantikannya.

“Eh, ngapain kamu ngliatin tante kayak gitu. Heran ya liat nenek-nenek.”
“Mati aku!” kataku dalam hati. Ternyata Tante Ani tahu sedang aku perhatikan. Aku hanya bisa menunduk malu, mungkin wajahku saat itu sudah seperti udang rebus.
“Heh, malah bengong lagi,” katanya lagi. Kali ini aku sempat melihat Tante Ani tersenyum yang membuatku sedikit lega tahu kalau dia tidak marah.
“Maaf tante, nggak sengaja,” jawabku sekenanya.
“Mana ada nggak sengaja. Kalau sebentar itu nggak sengaja, lha ini lama gitu ngeliatnya,” kata Tante Ani lagi. Meskipun masih merasa malu, namun aku agak tenang karena kata-kata Tante Ani sama sekali tidak menunjukkan sedang marah.
“Kata Agus, kamu mau pertandingan sepakbola di sekolah ya?” Tanya Tante Ani.
“Eh, iya tante. Pertandingan antar SMU se-kota. Tapi masih dua minggu lagi kok tante, sekarang-sekarang ini baru tahap penggojlokan,” Aku sudah mulai tenang kembali.
“Pelajaran kamu terganggu nggak?”

“Ya sebenarnya lumayan menggangu tante, habisnya latihannya belakangan ini berat banget, soalnya sekolah sengaja mendatangkan pelatih sepakbola beneran. Tapi, sekolah juga ngasih dispensasi kok tante. Jadi kalau capeknya nggak ketulungan, kami dikasih kesempatan untuk nggak ikut pelajaran. Kalau nggak begitu, nggak tahu lah tante. Soalnya kalau badan udah pegel-pegel, ikut pelajaranpun nggak konsen.”

“Kalau pegel-pegel kan tinggal dipijit saja,” kata Tante Ani.
“Masalahnya siapa yang mau mijit tante?”
“Tante mau kok,” jawab Tante Ani tiba-tiba.
“Ah, tante ini becanda aja,” kataku.
“Eh, ini beneran. Tante mau mijitin kalau memang kamu pegel-pegel. Kalau nggak percaya, sini tante pijit,” katanya lagi.
“Enggak ah tante. Ya, saya nggak berani tante. Nggak sopan,” jawabku sambil menunduk setelah melihat Tante Ani nampak sungguh-sungguh dengan kata-katanya.
“Lho, kan tante sendiri yang nawarin, jadi nggak ada lagi kata nggak sopan. Ayo sini tante pijit,” katanya sambil memberi isyarat agar aku duduk di sofa di sebelahnya. Penyakit gugupku kambuh lagi. Aku hanya diam menunduk sambil mempermainkan jari-jariku.

“Ya udah, kalau kamu sungkan biar tante ke situ,” katanya sambil berjalan ke arahku. Sebentar kemudian sambil berdiri di samping sofa, Tante Ani memijat kedua belah pundakku. Aku hanya terdiam, tidak tahu persis seperti apa perasaanku saat itu.

Setelah beberapa menit, Tante Ani menghentikan pijitannya. Kemudian dia masuk ke ruang tengah sambil memberi isyarat padaku agar menunggu. Aku tidak tahu persis apa yang dilakukan Tante Ani setelah itu. Yang aku tahu, aku sempat melihat bibi pembantu keluar rumah melalui pintu samping, yang tidak lama kemudian disusul Tante Ani yang keluar lagi dari ruang tengah.

“Bibi tante suruh beli kue. Kue di rumah sudah habis,” katanya seolah menjawab pertanyaan yang tidak sempat kuucapkan. “Ayo sini tante lanjutin mijitnya. Pindah ke sini aja biar lebih enak,” kali itu aku hanya menurut saja pindah ke sofa panjang seperti yang disuruh Tante Ani. Kemudian aku disuruh duduk menyamping dan Tante Ani duduk di belakangku sambil mulai memijit lagi.

“Gimana, enak nggak dipijit tante?” Tanya Tante Ani sambil tangannya terus memijitku. Aku hanya mengangguk pelan.

“Biar lebih enak, kaosnya dibuka aja,” kata Tante Ani kemudian. Aku diam saja. Bagaimana mungkin aku berani membuka kaosku, apalagi perasaanku saat itu sudah tidak karuan.

“Ya sudah. Kalau gitu, biar tante bantu bukain,” katanya sambil menaikkan bagian bawah kaosku. Seperti kena sihir aku menurut saja dan mengangkat kedua tanganku saat Tante Ani membuka kaosku.

Setelah itu Tante Ani kembali memijitku. Sekarang tidak lagi hanya pundakku, tapi mulai memijit punggung dan kadang pinggangku. Perasaanku kembali tidak karuan, bukan hanya pijitannya kini, tapi sepasang benda empuk sering menyentuh bahkan kadang menekan punggungku. Meski seumur-umur aku belum pernah menyentuh payudara, tapi aku bisa tahu bahwa benda empuk yang menekan punggungku itu adalah sepasang payudara Tante Ani.

Beberapa lama aku berada dalam situasi antara merasa nyaman, malu dan gugup sekaligus, sampai akhirnya aku merasakan ada benda halus menelusup bagian depan celanaku. Aku terbelalak begitu mengetahui yang menelusup itu adalah tangan Tante Ani.

“Tante.. ” kataku lirih tanpa aku sendiri tahu maksud kataku itu. Tante Ani seperti tidak mempedulikanku, dia malah sudah bergeser ke sampingku dan mulai membuka kancing serta retsluiting celanaku. Sementara itu aku hanya terdiam tanpa tahu harus berbuat apa. Sampai akhirnya aku mulai bisa melihat dan merasakan Tante Ani mengelus penisku dari luar CD-ku.

Aku merasakan sensasi yang luar biasa. Sesuatu yang baru pertama kali itu aku rasakan. Belum lagi aku sadar sepenuhnya apa yang terjadi, aku mendapati penisku sudah menyembul keluar dan Tante Ani sudah menggenggamnya sambil sesekali membelai-belainya. Setelah itu aku lebih sering memejamkan mata sambil sekali-kali melirik ke arah penisku yang sudah jadi mainan Tante Ani.

Tak berapa lama kemudian aku merasakan kenikmatan yang jauh lebih mencengangkan. Kepala penisku seperti masuk ke satu lubang yang hangat. Ketika aku melirik lagi, kudapati kepala penisku sudah masuk ke mulut Tante Ani, sementara tangannya naik turun mengocok batang penisku. Aku hanya bisa terpejam sambil mendesis-desis keenakan. Beberapa menit kemudian aku merasakan seluruh tubuhku mulai mengejang. Aku merasakan Tante Ani melepaskan penisku dari mulutnya, tapi mempercepat kocokan pada batang penisku.

“Sssshhhh.. creettt… creett… ” Sambil mendesis menikmati sensasi rasa yang luar biasa aku merasakan cairan hangat menyemprot sampai ke dadaku, cairan air mani ku sendiri.

“Ah, dasar anak muda, baru segitu aja udah keluar,” Tante Ani berbisik di dekat telingaku. Aku hanya menatap kosong ke wajah Tante Ani, yang aku tahu tangannya tidak berhenti mengelus-elus penisku. “Tapi ini juga kelebihan anak muda. Udah keluarpun, masih kenceng begini,” bisik Tante Ani lagi.

Setelah itu aku lihat Tante Ani melepas T-Shirtnya, kemudian berturut-turut, BH, celana dan CD-nya. Aku terus terbelalak melihat pemandangan seperti itu. Dan Tante Ani seperti tidak peduli kemudian meluruskan posisi ku, kemudian dia mengangkang duduk di atasku. Selanjutnya aku merasakan penisku digenggam lagi, kali ini di arahkan ke selangkangan Tante Ani.

“Sleppp…. Aaaaahhhhh… ” suara penisku menembus vagina Tante Ani diiringi desahan panjangnya. Kemudian Tante Ani bergerak turun naik dengan cepat sambil mendesah-desah. Mulutnya terkadang menciumi dada, leher dan bibirku.

Ada beberapa menit Tante Ani bergerak naik turun, sampai akhirnya dia mempercepat gerakannya dan mulai menjerit-jerit kecil dengan liarnya. Akupun kembali merasakan kenikmatan yang luar biasa. Tak lama kemudian…

“Aaaaaaaaaaaaaaaaahhhhhhh…….. ,” Tante Ani melenguh panjang, bersamaan dengan teriakanku yang kembali merasakan puncak yang kedua kali. Setelah itu Tante Ani terkulai, merebahkan kepalanya di dadaku sambil memeluk pundakku.
“Terima kasih Dik…,” bisiknya lirih diteruskan kecupan ke bibirku.

Sejak kejadian itu, aku mengalami syok. Rasa takut dan bersalah mulai menghantui aku. Sulit membayangkan seandainya Agus mengetahui kejadian itu. Perubahan besar mulai terjadi pada diriku, aku mulai sering menyendiri dan melamun.

Namun selain rasa takut dan bersalah, ada perasaan lain yang menghinggapi aku. Aku sering terbayang-bayang Tante Ani dia telanjang bulat di depanku, terutama waktu malam hari, sehingga aku tiap malam susah tidur. Selain seperti ada dorongan keinginan untuk mengulangi lagi apa yang telah Tante Ani lakukan padaku.

Perubahan pada diriku ternyata dirasakan juga oleh paman dan bibiku dan juga teman-temanku, termasuk Agus. Tentu saja aku tidak menceritakan kejadian yang sebenarnya. Situasi seperti itu berlangsung sampai seminggu lebih yang membuat kesehatanku mulai drop akibat tiap malam susah tidur, dan paginya tetap kupaksakan masuk sekolah. Akibat dari itu pula, akhirnya aku memilih mundur dari tim sepakbola sekolahku, karena kondisiku tidak memungkinkan lagi untuk mengikuti latihan-latihan berat.

Kira-kira seminggu setelah kejadian itu, aku berjalan sendirian di trotoar sepulang sekolah. Aku menuju halte yang jaraknya sekitar 300 meter dari sekolahku. Sebenarnya persis di depan sekolahku juga ada halte untuk bus kota, namun aku memilih halte yang lebih sepi agar tidak perlu menunggu bus bareng teman-teman sekolahku.

Saat asyik berjalan sambil menunduk, aku dikejutkan mobil yang tiba-tiba merapat dan berhenti agak di depanku. Lebih terkejut lagi saat tahu itu mobil itu mobil papanya Agus. Setelah memperhatikan isi dalam mobil, jantungku berdesir. Tante Ani yang mengendari mobil itu, dan sendirian.

“Dik, cepetan masuk, ntar keburu ketahuan yang lain,” panggil Tante Ani sambil membuka pintu depan sebelah kiri. Sementara aku hanya berdiri tanpa bereaksi apa-apa.
“Cepetan sini!” kali ini suara Tante Ani lebih keras dan wajahnya menyiratkan kecemasan.
“I.. Iya.. tante,” akhirnya aku menuruti panggilan Tante Ani, dan bergegas masuk mobil.
“Nah, gitu. Keburu ketahuan temen-temenmu, repot.” kata Tante Ani sambil langsung menjalankan mobilnya.

Di dalam mobil aku hanya diam saja, meskipun aku bisa sedikit melihat Tante Ani beberapa kali menengok padaku.
“Tumben kamu nggak bareng Agus,” Tanya Tante Ani tiba-tiba.
“Enn.. Enggak tante. Saya lagi pengin sendirian saja. Tante nggak sekalian jemput Agus?” aku sudah mulai menguasai diriku.
“Kan, emang Agus nggak pernah dijemput,” jawab Tante Ani.
“Eh, iya ya,” jawabku seperti orang bloon.

Setelah itu kami lebih banyak diam. Tante Ani mengemudikan mobilnya dengan kecepatan sedang. Setelah sampai di sebuah komplek pertokoan Tante Ani melambatkan mobilnya sambil melihat-lihat mungkin mencari tempat parkir yang kosong. Setelah memarkirkan mobilnya, yang sepertinya mencari tempat yang agak jauh dari pusat pertokoan, Tante Ani mengajak aku turun.

Setelah turun, Tante Ani langsung menyetop taksi yang kebetulan sedang melintas. Terlihat dia bercakap-cakap dengan sopir taksi sebentar, kemudian langsung memanggilku supaya ikut naik taksi. Setelah masuk taksi, Tante Ani memberi isyarat padaku yang terbengong-bengong supaya diam, kemudian dia menyandarkan kepalanya pada jok taksi dan memejamkan matanya, entah kecapaian atau apa. Kira-kira 20 menit kemudian taksi memasuki pelataran sebuah hotel di pinggiran kota.

“Dik, kamu masuk duluan, kamu langsung aja. Ada kamar nganggur yang habis dipakai tamu kantor tante. Nanti tante nyusul,” kata Tante Ani memberikan kunci kamar hotel sambil setengah mendorongku agar keluar.

Kemudian aku masuk ke hotel, aku memilih langsung mencari petunjuk yang ada di hotel itu daripada tanya ke resepsionis. Dan memang tidak sulit untuk mencari kamar dengan nomor seperti yang tertera di kunci. Singkat cerita aku sudah masuk ke kamar, namun hanya duduk-duduk saja di situ.

Kira-kira 15 menit kemudian terdengar ketukan di pintu kamar, ternyata Tante Ani. Dia langsung masuk dan duduk di pinggir ranjang.

“Agus bilang kamu keluar dari tim sepakbola ya?!” tanyanya tanpa ba-bi-bu dengan nada agak tinggi.
“I.. iya tante,” jawabku pelan.
“Kamu juga nggak pernah lagi kumpul sama temen-temen kamu, nggak pernah main lagi sama Agus,” Tante Ani menyemprotku yang hanya bisa diam tertunduk.
“Kamu tahu, itu bahaya. Orang-orang dan keluargaku bisa tahu apa yang sudah terjadi.. ,” kata-kata Tante Ani terputus dan terdengar mulai sedikit sesenggukan.
“Tapi.. saya nggak pernah ngasih tahu siapa-siapa,” kataku.
“Memang kamu belum ngasih tahu, tapi kalau ditanyain terus-terusan bisa-bisa kamu cerita juga,” katanya lagi sambil sesenggukan. “Apa yang terjadi dengan keluarga tante jika semuanya tahu!”
“Tante memang salah, tante yang membuat kamu jadi begitu,” kata Tante Ani, kali ini agak lirih sambil menahan tangisnya. “Tapi kalau kamu merasakan seperti yang tante rasakan..” terputus lagi.
“Merasakan apa tante?”

Akhirnya Tante Ani cerita panjang lebar tentang rumah tangganya. Tentang suaminya yang sibuk mengejar karir, sehingga hampir tiap hari pulang malam, dan jarang libur. Tentang kehidupan seksualnya sebagai akibat dari kesibukan suaminya, serta beratnya menahan hasrat biologisnya akibat dari semua itu.

“Kalau kamu mau marah, marahlah. Entah kenapa, tante nggak sanggup lagi menahan dorongan birahi waktu kamu ke rumah minggu kemarin. Terserah kamu mau menganggap tante kayak apa, yang penting kamu sudah tahu masalah tante. Sekarang kalau mau pulang, pulanglah, tante yang ngongkosin taksinya,” kata Tante Ani lirih sambil membuka tasnya, mungkin mau mengeluarkan dompet.

“Nggak.. nggak usah tante.. ” aku mencegah. “Saya belum mau pulang, saya nggak mau membiarkan tante dalam kesedihan.” Entah pengaruh apa yang bisa membuatku seketika bisa bersikap gagah seperti itu. Aku hampiri Tante Ani, aku elus-elus kepalanya. Hilang sudah perasaan sungkanku padanya. Tante Ani kemudian memeluk pinggangku dan membenamkan kepalanya dalam pelukanku.
Setelah beberapa lama, aku duduk di samping Tante Ani. Kuusap-usap dan sibakkan rambutnya. Kusap pipinya dari airmata yang masih mengalir. Pelahan kucium keningnya. Kemudian, entah siapa yang mulai tiba-tiba bibir kami sudah saling bertemu. Ternyata, kalau tidak sedang merasa sungkan atau takut, aku cukup lancar juga mengikuti naluri kelelakianku.

Cukup lama kami berciuman bibir, dan makin lama makin liar. Aku mulai mengusap punggung Tante Ani yang masih memakai baju lengkap, dan kadang turun untuk meremas pantatnya. Tante Ani pun melakukan hal yang sama padaku.

Tante Ani sepertinya kurang puas bercumbu dengan pakaian lengkap. Tangannya mulai membuka kancing baju seragam SMU-ku, kemudian dilepasnya berikut kaos dalam ku. Kemudian dia melepaskan pelukanku dan berdiri. Pelan-pelan dia membuka pakain luarnya, sampai hanya memakai CD dan BH. Meskipun aku sudah melihat Tante Ani telanjang, tapi pemandangan yang sekarang ada di depanku jauh membuat nafsuku bergejolak, meskipun masih tertutup CD dan BH. Aku langsung berdiri, kupeluk dan kudorong ke arah dinding, sampai kepala Tante Ani membentur dinding, meski tidak begitu keras.

“Ah, pelan-pelan doonnng,” kata Tante Ani manja diiringi desahannya desahannya.
Aku semakin liar saja. Kupagut lagi bibir Tante Ani, sambil tanganku meremas-remas buah dadanya yang masih memakai BH. Tante Ani tidak mau kalah, bahkan tangannya sudah mulai melepaskan melorotkan celana luar dan dalamku. Kemudian, diteruskannya dengan menginjaknya agar bisa melorot sempurna. Aku bantu upaya Tante Ani itu dengan mengangkat kakiku bergantian, sehingga akhirnya aku sudah telanjang bulat.

Setelah itu Tante Ani membantuku membuka pengait BH-nya yang ada di belakang. Rupanya dia tahu aku kesulitan untuk membuka BH-nya. Sekarang aku leluasa meremas-remas kedua buah dada Tante Ani yang cukup besar itu, sedang Tante Ani mulai mengelus dan kadang mengocok penisku yang sudah sangat tegang.

Kemudian tante setengah menjambak Tante Ani mendorong kepalaku di arahkan ke buah dadanya yang sebelah kiri. Kini puting susu itu sudah ada di dalam mulutku, kuisap-isap dan jilati mengikuti naluriku.

“Aaaaahh….. oooouhghhh… ” desahan Tante Ani makin keras sambil tangannya tak berhenti mempermainkan penisku.

Beberapa kali aku isap puting susu Tante Ani bergantian, mengikuti sebelah mana yang dia maui. Setelah puas buah dadanya aku mainkan, Tante Ani mendorong tubuhku pelan ke belakang. Kemudian dia berputar, berjalan mundur sambil menarikku ke arah ranjang. Sampai di pinggir ranjang, Tante Ani sengaja menjatuhkan dirinya sehingga sekarang dia telentang dengan aku menindih di atasnya, sementara kakinya dan kakiku masih menginjak lantai. Setelah itu, dia berusaha melorotkan CD-nya, yang kemudian aku bantu sehinggap Tante Ani kini untuk kedua kalinya telanjang bulat di depanku.

Usai melepas CD-nya aku masih berdiri memelototi pemandangan di depanku. Tante Ani yang telentang dengan nafas memburu dan mata agak saya menatapku. Gundukan di selangkangannya yang ditumbuhi bulu tidak begitu lebat nampak benar menantang, seperti menyembul didukung oleh kakinya yang masih menjuntai ke lantai. Bibir vaginanya nampak mengkilap terkena cairan dari dalamnya. (Waktu itu aku belum bisa menilai dan membanding-bandingkan buah dada, mana yang kencang, bagus dan sebagainya. Paling hanya besar-kecilnya saja yang bisa aku perhatikan).

“Sini sayaangg.. ,” panggil Tante Ani yang melihat aku berdiri memandangi tiap jengkal tubuhnya. Aku menghampirinya, menindih dan mencoba memasukkan penisku ke lubang vaginanya. Tapi, Tante Ani menahanku. Nampak dia menggeleng sambil memandangku. Kemudian tiba-tiba kepalaku didorong kebawah. Terus didorong cukup kuat sampai mulutku persis berada di depan lubang vaginanya. Setelah itu Tante Ani berusaha agar mulutku menempel ke vaginanya. Awalnya aku ikuti, tapi setelah mencium bau yang aneh dan sangat asing bagiku, aku agak melawan.

Mengetahui aku tidak mau mengikuti kemauannya, dia bangun. Ditariknya kedua tanganku agar aku naik ke ranjang, ditelentangkannya tubuhku. Sempat aku melihat bibirnya tersenyum, sebelum di mengangkang tepat di atas mulutku.

“Bleepp… ” aku agak gelagapan saat vagina Tante Ani ditempel dan ditekankan di mulutku. Tante Ani memberi isyarat agar aku tidak melawan, kemudian pelan-pelan vaginanya digesek-gesekkan ke mulutku, sambil mulutnya mendesis-desis tidak karuan. Aku yang awalnya rada-rada jijik dengan cairan dari vagina Tante Ani, sudah mulai familiar dan bisa menikmatinya. Bahkan, secara naluriah, kemudian ku keluarkan lidahku sehingga masuk ke lubang vagina Tante Ani.

“Oooohhh… sssshhh… pinter kamu sayang… oh… ” gerakan Tante Ani makin cepat sambil meracau. Tiba-tiba, dia memutar badannya. Kagetku hanya sejenak, berganti kenikmatan yang luar biasa setelah penisku masuk ke mulut Tante Ani. Aku merasakan kepala penisku dikulum dan dijilatinya, sambil tangannya mengocok batang penisku. Sementara itu, vaginanya masih menempel dimulutku, meskipun gesekannya sudah mulai berkurang. Sambil menikmati aku mengelus kedua pantat Tante Ani yang persis berada di depan mataku.

Setelah puas dengan permainan seperti itu, Tante Ani mulai berputar dan bergeser. Masih mengangkang, tapi tidak lagi di atas mulutku, kali ini tepat di atas ujung penisku yang tegak.

“Sleep.. blesss… ooooooooooooohhhhhh,” penisku menancap sempurna di dalam vagina Tante Ani diikuti desahan panjangnya, yang malah lebih mirip dengan lolongan.

Tante Ani bergerak naik turun sambil mulutnya meracau tidak karuan. Tidak seperti yang pertama waktu di rumah Tante Ani, kali ini aku tidak pasif. Aku meremas kedua buah dada Tante Ani yang semakin menambah tidak karuan racauannya. Rupanya, aksi Tante Ani itu tidak lama, karena kulihat tubuhnya mulai mengejang. Setengah menyentak dia luruskan kakinya dan menjatuhkan badannya ke badanku.

“Ooooooooohhh…. Aaaaaaaaahhh….. ” Tante Ani ambruk, terkulai lemas setelah mencapai puncak.
Beberapa saat dia menikmati kepuasannya sambil terkulai di atasku, sampai kemudian dia berguling ke samping tanpa melepas vaginanya dari penisku, dan menarik tubuhku agar gantian menindihnya.
Sekaraang gantian aku mendorong keluar-masuk penisku dari posisi atas. Tante Ani terus membelai rambut dan wajahku, tanpa berhenti tersenyum. Beberapa waktu kemudian aku mempercepat sodokanku, karena terasa ada bendungan yang mau pecah.

“Tanteeeeee……. Oooooohhh……. ” gantian aku yang melenguk panjang sambil membenamkan penisku dalam-dalam. Tante Ani menarik tubuhku menempel ketat ke dadanya, saat aku mencapai puncak.

Setelah sama-sama mencapai puncak kenikmatan, aku dan Tante Ani terus ngobrol sambil tetap berpelukan yang diselingi dengan ciuman. Waktu ngobrol itu pula Tante Ani banyak memberi tahu tentang seks, terutama bagian-bagian sensitif wanita serta bagaimana meng-eksplor bagian-bagian sensitif itu.

Setelah jam 4 sore, Tante Ani mengajak pulang. Aku sebenarnya belum mau pulang, aku mau bersetubuh sekali lagi. Tapi Tante Ani berkeras menolak.
“Tante janji, kamu masih terus bisa menikmati tubuh tante ini. Tapi ingat, kamu harus kembali bersikap seperti biasa, terutama pada Agus. Dan kamu harus kembali ke tim sepakbola. Janji?”
“He-em,” aku menganggukkan kepala.
“Ingat, kalau kamu tepat janji, tante juga tepat janji. Tapi kalau kamu ingkar janji, lupakan semuanya. Oke?” Aku sekali mengangguk.

Sebelum aku dan Tante Ani memakai pakaian masing-masing, aku sempatkan mencium bibir Tante Ani dan tak lupa bibir bawahnya. Setelah selesai berpakaian, Tante Ani memberiku ongkos taksi dan menyuruhku pulang duluan.

Sejak itu perasaanku mulai ringan kembali, dan aku sudah normal kembali. Aku juga bergabung kembali ke tim sepakbola sekolahku, yang untungnya masih diterima. Dari sepakbola itulah yang kemudian memuluskan langkahku mencari kerja kelak. Dan Tante Ani menepati janjinya. Dia benar-benar telah menjadi pasangan kencanku, dan guru sex-ku sekaligus. Paling sedikit seminggu sekali kami melakukannya berpindah-pindah tempat, dari hotel satu ke hotel yang lain, bahkan kadang-kadang keluar kota. Tentu saja kami melakukannya memakai strategi yang matang dan hati-hati, agar tidak diketahui orang lain, terutama keluarga Tante Ani.

Sejak itu pula aku mengalami perubahan yang cukup drastis, terutama dalam pergaulanku dengan teman-teman cewek. Aku yang awalnya dikenal pemalu dan jarang bergaul dengan teman cewek, mulai dikenal sebagai play boy. Sampai lulus SMU, beberapa cewek baik dari sekolahku maupun dari sekolah lain sempat aku pacari, dan beberapa di antaranya berhasil kuajak ke tempat tidur. (Lain waktu, kalau sempat saya ceritakan petualangan saya tersebut).

Begitulah kisah awalku dengan Tante Ani, yang akhirnya merubah secara drastis perjalanan hidupku ke depannya. Sampai saat ini, aku masih berhubungan dengan Tante Ani, meskipun paling-paling sebulan atau dua bulan sekali. Meskipun dari segi daya tarik seksual Tante Ani sudah jauh menurun, namun aku tidak mau melupakannya begitu saja. Apalagi, Tante Ani tidak pernah berhubungan dengan pria lain, karena dianggapnya resikonya terlalu besar.

Begitulah, Tante Ani yang terjepit antara hasrat seksual menggebu yang tak terpenuhi dengan status sosial yang harus selalu dijaga

AGEN JUDI POKER - Dengan Sepupu Sendiri

AGEN JUDI POKER

"Dengan Sepupu Sendiri"

AGEN JUDI POKER - Dengan Sepupu Sendiri
AGEN JUDI POKER - Dengan Sepupu Sendiri
dimana waktu itu aku sedang sendiri di rumah, sedang nonton TV tiba-tiba aku di kejutkan oleh suara bel berbunyi.

“Kringg.. kring..” suara bel berbunyi itu membuat aku terkejut.

Kemudian aku membuka pintu, aku melihat seorang gadis berdiri menggunakan baju kaos berwarna putih dan rok mini berwarna hijau sampai ke lutut, wajahnya cantik dan sedap dipandang mata.

Aku bertanya, “Cari siapa dik..?”

Dia balas dengan bertanya, “Benarkah ini rumah paman Rizal..?”
Aku terkejut, karena nama yang dia sebutkan adalah nama papaku. Kemudian aku bertanya lagi.
“Adik ini siapa?”

Dia hanya tersenyum. Senyumannya manis sekali, lalu aku jawab, “Benar, ini rumah paman Rizal,” sambungku lagi.
Dan sekali lagi dia tersenyum, manis sekali, membuat hatiku dag dig dug.
Aku bertanya lagi, “Adik ini siapa sih..?”

Sambil terseyum dia memperkenalkan dirinya, “Namaku Lisa,” kata-katanya terhenti, “Aku datang kemari disuruh mama untuk menyampaikan sesuatu untuk paman Rizal.”
“Oh iyah..” aku sampai lupa mempersilakan dia masuk ke rumah. Lalu kusuruh dia masuk.
“Silakan masuk,” kataku.

Aku persilakan dia masuk, “Kan ngga enak bicara di depan pintu, apa lagi tamu.”

Setelah berbicara sebenter di depan pintu, dia masuk dan duduk di kursi ruang tamu. Setelah kupersilakan duduk, aku mulai bertanya lagi tentang dia, dan siapa dia bagaimana hubungannya dengan papaku.

“Kalau boleh tau, adik ini siapa yah..?”
“Hihihi..” dia tertawa, aku jadi heran, tetapi dia malah tertawa.
“Kalau ngga salah, pasti abang ini bang.. Sultan yah?” sambungnya.

Aku terkejut, dari mana dia tahu namaku, lalu aku bertanya, “Kog adik tau nama abang?”
Lalu dia tertawa lagi, “Hihihi… ..tau dong.”
“Masa abang lupa sama aku?” lanjutnya. “Aku Lisa, bang. Aku anaknya tante Maria,” celotehnya menjelaskan.
Aku terkejut, “..ah.. jadi kamu anaknya tante Maria?” tambahku.

Aku jadi termangu. Aku baru ingat kalau tante Maria punya anak, namanya Lisa. Waktu itu aku masih SMP kelas 3 dan Lisa kelas 1 SMP. Kami dulu sering bermain di taman bersama. Waktu itu kami belum tahu tentang apa yang namanya cinta/sex dan kami tidak berjumpa lagi karena waktu itu aku pergi ke Australia sekitar 2 tahun. Sekembalinya dari Autralia aku tidak pernah ke rumahnya karena sibuk sekolah. Sudah kira-kira 3 tahun kami tidak berjumpa, sampai aku mahasiswa tingkat 2, aku tidak ingat namanya lagi, kini bertemu sudah besar dan cantik lagi.

Lalu kubertanya kembali menghamburkan lamunanku sendiri, “Bagaimana kabar mamamu?” tanyaku.
“Baik…” jawabnya.

Kamudian dia mengulangi maksud dan tujuannya. Katanya, papaku diminta mamanya untuk datang ke rumahnya untuk membicarakan sesuatu hal.

Lalu aku balik bertanya dengan penasaran, “Kira-kira yang akan dibicarakan apa sih..?”
Dia menjawab sambil tersenyum manis nan menggoda. Sambil tersenyum, aku memperhatikan dirinya penasaran.

Tiba-tiba dia bicara, “Ternyata abang ganteng deh, ternyata mama ngga salah bilang.”

Aku jadi salah tingkah dan wajahku memerah karena dipuji. Adik ini ada-ada saja pikirku. Kemudian aku sambut kata-katanya, “Ternyata tante Maria punya anak cantik juga.” dia hanya tersenyum saja.

“Paman Rizal kemana bang?” dia bertanya membuka keheningan.
“Belum pulang kerja.” jawabku.
“Hmmm…” gumamnya.
“Ya udah deh, titip pesen aja gitu tadi, ya bang!” memastikan.
“Iya… oke.” jawabku pasti.
“Jangan lupa yah..!” lebih memastikan.
“Iya..” aku tegaskan lagi.
“Oke deh.. kalau gitu Lisa pamit dulu yah.. ngga bisa lama-lama nih.. mama bilang jangan lama-lama.” jelasnya. “Pamit yah bang!” tambahnya.
“Oke deh,” mengiyakan. “Hati-hati yah!” sambungku seperti cowok-cowok lain pada cewek umumnya.
Dia hanya tersenyum menjawabnya, “Iya bang…”

Nah, detik itu jugalah momen itu terjadi. Tidak tahu kenapa dia tiba-tiba menarik tanganku dan mencium pipiku. Bercampur rasa bingung dan asyik di hatiku.

“Waduh… buat apa itu tadi?” tanyaku bodoh. Dia hanya tersenyum.
“Abang ganteng deh,” jelasnya sambil melepaskan pegangan tangannya.
Nah, itu dia, karena menurutku aji mumpung perlu diterapkan, aku menangkap tangannya dan balik mencium pipinya. Dia menjadi kaget dan aku hanya tersenyum saja, memasang wajah innocent yang jauh dari sempurna. Balas dendam pikirku. Karena kepalang keasyikan dan sudah timbul nafsu. Aku memberanikan diri lagi untuk mencium bibirnya mengusik kediamannya karena kaget pada ciuman pertamaku tadi.
“Mumpung rumah sepi… kesempatan nih..” pikirku dalam hati.
Aku memberanikan diri untuk lebih lagi dengan meraba tonjolan yang ada di dadanya yang terbungkus bra dari luar.
Dia mendesah, “..ahh..hem..”
Tonjolannya agak lumayan kalau tidak salah taksir, kira-kira 32b besarnya. Karena sudah sangat bernafsu, dan ego kelelakianku meningkat, hasrat itu pun timbul. Aku belai tubuhnya perlahan dan terus menaik sampai ke lehernya. Kubuka baju yang dia pakai hingga terlepas. Dan aku terus meraba bongkongnya yang lumayan juga besarnya kalau tidak salah taksir dapurnya kira-kira 61.
“Seperti penyanyi saja,” gumamku dalam hati.

Karena keadaan kurang memungkinkan, kugendong dia ke kamarku sambil kami berciuman terus. Kurebahkan dia di kasur dan kutindih dia. Kubuka perlahan-lahan kaos yang dia pakai dan BH-nya aku buka hingga polos. Terpampang di depanku sebuah pemandangan yang indah, sebuah gunung dua yang sangat indah dengan pucuknya berwarna merah ranum. Aku dengan rakusnya meremas dan mengulum kanan dan kiri. Tanganku dengan aktif terus menjalar ke rok yang dia pakai. Perlahan-lahan aku turunkan hingga terbuka semuanya. Aku melihat kodam (kolor,dalam) warna putih dengan berenda bunga. Kubuka perlahan-lahan dengan sabar, hati-hati dan lembut. Tiba-tiba dia menepis tanganku.

“Jangan bang..! Jangan bang..!” dia memohon, tetapi aku yang sudah dirasuki setan tidak ambil pikir.
Kemudian kucium bibirnya dan kuremas kembali gunungnya. Dia terangsang. Kucoba mengulang kembali, kutarik kodamnya (kolor,dalam) perlahan-lahan. Dia tidak menepis tanganku, terus kubuka dan kuterpana melihat pemandangan yang begitu indah yang tidak bisa dikatakan dengan kata-kata. Aku melihat sebuah kemaluan yang masih gundul yang hanya dikelilingi dengan rambut yang masih belum lebat.

Kusibak hutan yang masih agak gundul. Ada cairan bening yang keluar dari dalam hutannya. Dia sudah terangsang. Kubuka bajuku tergesa-gesa. Pakaianku hanya tinggal kodam (kolor dalam) saja tetapi Ucokku (kejantananku) sudah mau lompat saja, ingin mencari sasaran. Sudah tidak tahan ucokku sehingga aku langsung meraba hutannya. Kusibak (buka) hutannya dan aku menciumnya. Kemudian kujilat semacam daging yang keluar dari kemaluannya. Kujilat terus kelentitnya hingga dia meyilangkan kakinya ke leherku.
“Ahh.. ohh.. yaa..” desahnya.

Kumasukan jari tanganku satu dan kukorek-korek dalam hutanya. Dia semakin merapatkan kakinya ke leherku sehingga mukaku terbenam dalam hutannya. Aku tidak bisa bernafas. Aku terus hajar hutannya.

“Hauhh.. ahh.. yahh.. huhhh..” terdengar suara desahya.
Aku terus hisap sehingga timbul suara yang entah dia dengar atau tidak. Kemudian perlahan-lahan kakinya agak melonggar sehingga aku bisa nafas dengan bebas kembali. Aku terus menghisap dalam hutannya. Setelah puas kubermain di hutanya, kuhisap lagi gunung kembarnya, kiri dan kanan.

“Bang.. aku udah ngga tahan nih.. mau keluar..” desahnya.
Kupercepat lagi hisapanku, dia merintih.

“Ahh.. oohhh.. yahh.. serrrr..” dia lemas. Ternyata dia sudah klimaks.

Kubuka kodamku dan kejantananku ini kukeluarkan. Taksiranku, kejantananku kira-kira 18 cm panjangnya kalau sudah tegang. Kubimbing kejantananku (ucok) ke arah hutannya. Kugesek-gesekan kejantananku pada liang kelaminnya, kusodok perlahan-lahan. Awalnya meleset, tidak masuk. Wah, ternyata dia masih perawan. Kucoba lagi perlahan-lahan, tidak juga bisa masuk. Kuberi air ludah ke batang kejantananku agar tambah licin. Kemudian kucoba lagi, hanya masuk ujung kepalanya saja, dia merintih.

“Aduh.. sakit bang.. sakit..” rintihnya.
Aku berhenti sejenak, tidak melanjutkan sodokanku, kukulum lagi gunungnya, dadanya terangkat ke atas. Tidak lama dia terangsang lagi, lalu kucoba lagi untuk meyodok (seperti permainan bola billyard). Kusodok terus dengan hati-hati, aku tidak lupa memberi ludahku ke kejantananku. Karena hutannya becek akibat klimaks tadi jadi agak licin sehingga kepala kejantananku bisa masuk dia merintih.

“Aduh.. sakit bang…”

“Tahan dikit yah.. adikku manis..`ngga sakit kok.. cuman sebentar aja sakitnya…” bisikku di daun telinganya.
Dia diam saja. Kusodok lagi, akhirnya masuk juga kepala si ucok, terus kusodok agak keras biar masuk semua.

“Slupp.. blesss..” dan akhirnya masuk juga ucokku. Dia menggigit bibirnya menahan sakit. Karena kulihat dia menahan sakit aku berhenti menunggu dia tidak kesakitan lagi. Ucokku masih terbenam dalam hutannya, kulihat dia tidak menggigit bibirnya lagi. Kusodok lagi ucokku perlahan-lahan dan lembut, ternyata dia meresapinya dan kembali terangsang. Kusodok terus.

“Ahh.. auuohhh.. yahh.. terus bang..” pintanya karena dia teransang hebat sambil mengoyangkan pinggulnya ke kiri kanan. Rupanya dia sudah tidak kesakitan lagi. Semakin kuat kusodok.

“Auoohhh.. ahhh.. yahh.. uhhh.. terus bang!” kakinya dililitkan ke leherku.

“Ahh.. yaa..” rintihnya lagi, terus kusodok agak keras.

“Selupp.. selup..” suara ucokku keluar masuk, aku juga merasakan ada denyutan dalam hutannya seperti menghisap (menarik) ucokku. Rasanya tidak bisa dikatakan dengan kata-kata.

“Yahh.. aouuhh… yahh..” suaraku tanpa sadar karena nikmatnya.
“Bang.. enak bang.” kusodok terus.
“Uohh.. ahhh.. yahh.. terusss bang! Yahh.. yahh.. ngga tahan nih bang..” dia terus berkicau keenakan, “oohh.. yahh… aouuhh.. yaa.. i coming.. yes..” terus dia berkicau

Entah apa katanya, aku tidak tahu karena aku juga merasakan sedotan dalam hutanya semakin kuat.

Dia meremas kain penutup tilam sampai koyak. Aku terus meyodok dan terus tidak henti-henti.

“Aouhhh.. ahhh.. yahh.. yaa.. mau keluar nih bang..” dan, “Slerrrr…” dia keluar, terasa di kepala ucokku. Dia klimaks yang kedua kalinya.

Aku terus memacu terus mengejar klimaksku, “Yahh.. aouuu.. yahh..” ada denyutan di kepala ucokku.

“Yahh.. ahhh..” aku keluar, kutarik ucokku keluar, kuarahkan ke perutnya.
Air maniku sampai 3x menyemprot, banyak juga maniku yang keluar, lalu kukecup keningnya.

“Terima kasih..” aku ucapkan.

Kulihat ada bercak darah di sprei tilam, ternyata darah perawanya. Lalu kuajak dia membersihkan diri di kamar mandi, dia mengangguk. Kami mandi bersama. Tiba-tiba ucokku bangkit lagi melihat bongkongnya yang padat dan kenyal itu. Kutarik bokongnya dan kutunggingkan. Kusodok dari belakang.
“Aduh..” gumamnya karena masih agak sempit dan masih terasa ngilu karena baru hilang keperawanannya.

Dia terangsang kembali, kuremas gunung kembarnya, aku berdengus. “Ahh.. aouhhh.. yaaa.”

“Crottt.. croottt.. crottt..” kukeluarkan maniku dan kutumpahkan di bokongnya.

Kami terus bermain sampai 3 kali. Aku teringat kalau sebentar lagi mama akan pulang, lalu kusuruh cepat-cepat si Lisa mandi dan mengenakan pakaiannya. Kami tersenyum puas.

“Terima kasih yah bang,” aku tersenyum saja dan aku mencium bibirnya lagi serta membisikkan ke telinganya, “Kapan-kapan kita main lagi yah!”
Dia hanya tersenyum dan, “..iya,” jawabnya.
Setelah berpakain dan merapihkan diri, kuantar dia ke depan rumah. Dan ciuman manis di bibir tidak lupa dia berikan kepadaku sebelum pergi. Aku hanya bisa melihat dia berjalan pergi dengan langkah yang agak tertatih karena merasakan nyeri di selangkangannya.

“Oh… nikmatnya dunia hari ini.” pikirku dalam hati sambil menutup pintu.